Langsung ke konten utama

Pertemuan 12: Sabtu bersama Agustinus Wibowo


“Kita akan bertemu Agustinus Wibowo tanggal 27 Desember 2014.”

Itu pesan Pak Guru yang masuk di WAG AM5M beberapa minggu yang lalu.

Semua antusias. Penulis genre baru non-fiksi kreatif Titik Nol yang keren itu (Titik Nol-nya yang keren, penulisnya saya belum tahu). Dua jam bersama Agustinus Wibowo (AW) eksklusif  untuk peserta AM5M dan gratis.

Maka mulailah pencarian lebih jauh tentang si Mas Agus ini. Mulai dari Titik Nol, buku bercover biru dengan seorang anak yang meloncat dari ketinggian. Breath taking. Saya benar-benar ingin punya buku itu. Tapi harganya 125ribu. Itu jatah makan keluarga 3 hari.

Lihat wawancaranya di Kick Andy dari YouTube. AW melakukan perjalanan darat dengan tabungan US$ 2000 ke daerah Tan. Afganistan, Tajikistan, Turkmenistan, Hidustan, dan tan tan yang lain. Sepertinya ini orang agak ajaib.

Buka blognya Agustinus Wibowo. Oh my... deretan foto-foto indah kelas National Geographic, tulisan-tulisan perjalanan yang tidak biasa, sejumlah liputan media yang terarsip dengan rapi. Sepertinya ini orang memang bukan penulis biasa.

Akhirnya  buku terbeli dengan diskon 27.5%. Hanya 90 ribu saja. Jadi cukup 2 hari puasa. God bless the bookstore. Sebuah buku tebal  552 lembar. 104ribu kata. Maka mulailah saya duduk manis ditemani teh hangat, mengikut pengembaraan penulis dari Tibet, Nepal, India, Pakistan dan sesekali pulang ke Lumajang menjaga sang Mama yang tengah sakit kanker.

Akhirnya hari itu tiba. Sabtu, 27 Desember 2014. Pukul 10.45. Kami ber-12 menyambut si Mas Agus dan Pak Guru. Ternyata ini to... orangnya.

Ada perasaan unik. Ketika pertemuan akademi pertama pada bulan April, kami semua begitu antusias akan bertemu untuk pertama kalinya dengan Ahmad Fuadi, penulis Negeri 5 Menara, Ranah 3 Warna, dan Rantau 1 Muara. Dan pada pertemuan terakhir ini, perasaan itu kembali. Kini untuk bertemu dengan Agustinus Wibobo, penulis Selimut Debu, Garis Batas dan Titik Nol.

Pak guru membuka dengan pertanyaan “Sekarang lagi sibuk apa?”
Saat ini AW tengah menyelesaikan penulisan ulang Titik Nol untuk edisi bahasa Inggris. Tulis ulang? Kenapa harus ditulis ulang segala?

“Karena pembacanya berbeda. Untuk pembaca yang berbeda ternyata cara menyajikan suatu tulisan itu juga menjadi berbeda. Seharusnya tadi malam sudah beres. Masih tersisa 5 lembar lagi. Tapi demi AM5M, saya tinggalkan dulu.” Ah... sweet...mau dibantu Mas...

Apa Titik Nol akan diterjemahkan sendiri ke dalam bahasa Inggris? Seorang AW gitu loh, yang  tulisan berbahasa Inggrisnya ada di NG dan media asing lainnya.
“Nggak, ada penerjemah. Kosakata saya tidak cukup banyak untuk menulis sendiri sebuah buku.”

Ini ungkapan hampir senada ketika pertanyaan yang sama diajukan ke Pak Guru untuk buku Land of 5 Towers (Novel Negeri 5 Menara versi bahasa Inggris). “Kalau saya terjemahkan sendiri nanti bahasa Inggrisnya rasa rendang.”

Tadinya saya pikir, untuk orang yang kelasnya sudah selevel journalist internasional (Ahmad Fuadi di VOA dan Agustiawan Wibowo di NG) mereka pasti bisa menulis buku berbahasa Inggris. Ternyata tidak juga.

Sebagai polygot (orang yang menguasai banyak bahasa), penasaran juga mau tahu AW kalau mimpi pakai bahasa apa ya?

“Tergantung lagi ada dimana. Biasa menulis diari dalam bahasa Inggris. Setiap bahasa memiliki rasa yang berbeda.   Ketika menulis God dalam bahasa Inggris, saya bisa cerita lebih banyak dibanding dengan menulis kata Allah dalam bahasa Indonesia.”

Untuk menulis Titik Nol, AW menghabiskan waktu 2 tahun dengan menulis ulang sampai 20 kali. Benar-benar tulis ulang. Kenapa?

AW sangat menyarankan untuk membuat rangkuman dulu agar tidak tersesat. Kamu mau menulis apa sih? Rangkum dalam 1 kalimat. Kemudian pecah menjadi rangkuman bab. Baru setelah itu diuraikan. 

Pilih detail yang mendukung  apa yang ingin kamu sampaikan. Misalnya kamu ingin bilang mengenai alam persawahan yang damai, sampaikan detail yang mendukung seperti sawah yang berundak-undak, bunyi burung, segarnya udara. Tidak perlu disampaikan bahwa diatasnya ada villa atau restaurant mewah yang mendendangkan musik dangdut hingar-bingar. 

Tahu dulu apa yang ingin kamu sampaikan!

Ketika tidak melakukan itu, AW sering kali tersesat saat di tengah buku. Banyak detail mubazir. Bisa dibilang 1 tahun terbuang percuma dalam proses penulisan Titik Nol.

Mengenai cara menulis, AW biasa menulis setiap detail perjalanannya setiap malam. Tidak ditunda-tunda besok atau minggu depan. Ada catatan kecil, dan ada yang agak besar. Diary perjalanannya cukup banyak dan semuanya sudah disalin dalam bentuk file. Di tulis kembali!

AW ini lulusan cumlaude dari Computer Science Universitas Tsinghua, universitas papan atas tingkat dunia. Nomor 1 terbaik di China. 

Salah satu bagian terbaik dari buku Titik Nol adalah ketika dia telpon ke papanya untuk menyampaikan kabar baik dan kabar buruk.

Kabar baiknya adalah saya telah lulus kuliah dengan predikat terbaik, ditawari S2 di sekolah terbaik dan pekerjaan yang bagus. Kabar buruknya adalah saya menolak itu semua dan akan melakukan perjalanan keliling dunia.

Apa motivasinya belajar mati-matian sampai cumlaude kalau pada ujungnya memilih keliling dunia. Kenapa tidak malas-malasan kuliah, dan mulai belajar jadi jurnalis saja?

Sebagai etnis Tionghoa, kami selalu di didik untuk berkompetisi. Sebagai minoritas, jika kamu hanya rata-rata, kamu bukanlah apa-apa. Kamu harus jadi pemenang. 

Prinsip itu sudah mendarah daging dalam diri kebanyakan orang Tionghoa. Ketika di Beijing, di mana etnis mereka menjadi mayoritas, ternyata prinsip itu tetap berlaku. Ada milyaran orang di sana. Mereka masing-masing harus di atas rata-rata. Semangat untuk kompetisi itu tetap tumbuh subur. Di Tsinghua, mahasiswanya bahkan hapal kamus. Toefl bisa diraih dengan nilai sempurna. Biar ngomongnya mbalelo, nilai score TOEFL-nya bisa 670.

Tapi ketika dalam perjalanan, AW menemukan bahagianya dalam keterbatasan. Banyak kebahagiaan kecil yang begitu disyukuri tanpa kompetisi yang gila-gilaan. 

Saat mengejar sesuatu dan kemudian mendapatkannya, rasa senangnya itu sebentar. Mungkin satu atau dua bulan. Setelah itu kita akan lupa. Baru terasa lagi setelah itu hilang. Saya bahkan sudah lupa rasa senang ketika cumlaude.

Setelah perjalanan keliling sejumlah tempat dan melihat beragam agama, apa pendapat AW mengenai agama?

Ini berat dan dalam katanya. Ia menyitir cerita Nasrudin, yang menyatakan bahwa bulan itu lebih penting daripada matahari. Karena orang lebih butuh cahaya bulan di malam hari dari pada di siang hari.

Agama dinilai AW sebagai cahaya yang hakikatnya dari Tuhan. Bukan dari bulan atau matahari. Itu yang paling penting. Dalam perjalanan AW melihat banyak orang beragama yang terlalu berkutat dengan syariat dan tarikat hingga melupakan hakikat. Betapa mirisnya melihat bagaimana orang membunuh atas nama agama. 

Bagaimana anak-anak dilepas dilahan penuh ranjau. Diberikan kunci plastik yang katanya kunci surga. Setelah semua ranjau meledak oleh kaki-kaki kecil itu, baru para tentara melintas. Atas nama agama.

Ketika tahun 2004, AW ikut sebagai relawan tsunami ke Aceh. Sebelum terjadi tsunami, rencana ke Aceh sebenarnya sudah ada. Karena ingin mengantarkan teman dari Prancis dan melihat langsung konflik GAM di Indonesia. Ia banyak belajar dari sana. 

Pada saat itu ternyata ada juga pihak-pihak yang menganggap tsunami Aceh sebagai hukuman terhadap orang Aceh. Ini tidak hanya penilaian orang di Beijing China yang masih dendam akan peristiwa 1998 dimana banyaknya etnis Thionghoa yang dibunuh. Di daerah tetangga Aceh pun penilaian yang sama terjadi. Dianggap sebagai hukuman dari Tuhan karena banyaknya anggota keluarga mereka yang menjadi korban tentara GAM.

Ini pendapat yang sebenarnya familiar, betapa kita begitu mudah menganggap suatu musibah sebagai hal yang pantas diterima. Tapi apapun itu, rasa kemanusiaan, menolong dan ditolong itu muncul tanpa mengenal batas agama dan ras.

Ada kalanya kekacauan itu dibutuhkan untuk membuat keseimbangan alam. Ada baik ada buruk. Ketika di suatu daerah tidak ada penjaga keamanan, maka kejahatan akan merajalela. Peace is War or vice versa.

Perjalanan merubah saya
Itu yang diucapkan seorang nerd yang kesehariannya semedi bersama buku dalam ruang 3x3 meter di Lumajang, kemudian bermetamorfosis menjadi musafir yang begitu luwes bergaul dengan banyak orang. Bisa jadi perubahan positif ini yang membuat orangtua AW cukup demokratis dan ikhlas menerima pilihan hidup anaknya untuk menjadi musafir berkeliling dunia.

Saat ini AW baru pulang dari perjalanan ke Papua Nugini. Ia ingin merekam suasana di daerah perbatasan Indonesia. Selama 3 bulan tidak menginap di hotel. Dari rumah penduduk ke rumah penduduk. Untuk mendapatkan imaji yang utuh dari suatu tempat, kuncinya adalah komunikasi. 

Bergaul dengan masyarakat dan menyelami apa yang mereka kerjakan. AW berusaha mempelajari bahasa masyakarat. Tidak ada instan untuk mempelajari bahasa katanya. Ia tidak hanya menghapal kosakata. Namun memulainya dari grammar dan struktur kalimat, baru kemudian kosakatanya. 

Ketika hanya menghapal kosakata, bisa saja kita mudah mengajukan pertanyaan, tapi kita akan kesulitan menerjemahkan jawabannya, karena keterbatasan kosakata kita.

Menginap di rumah penduduk adalah salah satu usaha AW untuk bisa lebih dalam menggali mengenai masyakat tersebut. Berapa lama dirasa cukup untuk mengenal masyarakat suatu daerah?

” Tidak tentu. Tergantung sejauh mana kualitas komunikasi. Kalau datang cuma lihat-lihat saja tanpa interaksi, ya setahun juga nggak akan dapat apa-apa.”

Bagaimana ketika kita ingin menulis sesuatu pengamatan yang dinilai tabu?

Kita menyampaikan apa yang kita rasa. Bukan menghakimi orang. Lihatnya dari sudut pandang mereka. Itu bisa menjadi kekuatan karena tulisan akan menjadi otentik dan tidak generik.

The power of Blog
Buat saya, National Geographi adalah sebuah utopia. Hanya best of the best yang bisa tembus NG. NG adalah kesempurnaan dalam sebuah karya. Dan AW karya-karyanya bisa ada di NG. Bagaimana caranya menembus NG?

Mereka yang menghubungi saya.

What? AW yang ditembus? Kok bisa?

"Blog saya itu seperti etalase. Banyak media yang tertarik. Ada yang beli foto. Fotonya ada yang dihargai US$ 400. Kompas tertarik membuat rubrik petualang. Penerbit mengejar untuk menerbitkan buku. Blog awalnya dalam bahasa Inggris, bisa jadi itu yang membuat cakupan blog ini menjadi lebih luas dan dilirik banyak orang sebagai referensi perjalanan. Fotonya dengan kamera Pocket coolpix biasa, 5MP. Baru akhir-akhir saya punya yang lebih canggih. Cover titik nol itu diambil dengan camera pocket."

Apakah seorang AW mungkin untuk menetap di suatu tempat?

“Buat saya rumah itu ada di sini,” sambil menunjukkan hatinya. Rumah yang bisa dibawa ke mana saja, mengikuti perjalanan sang musafir.





Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Oleh-oleh Kuliah Umum Fitrah Based Education Adriano Rusfi

Hari Minggu, 29 November 2015 lalu, saya kembali menghadiri sebuah Seminar Parenting di Aula Bapusibda Bandung. Kali ini judulnya Kuliah Umum Melahirkan Generasi Emas Melalui Pendidikan Peradaban berbasis Fitrah yang diadakan oleh Komunitas HE-BPA atau Home Education – Berbasis Potensi dan Ahlak. Buat saya, yang seru dari setiap Seminar Parenting adalah menularnya aura positif dari para peserta. Mereka adalah para ayah dan bunda yang selalu semangat untuk meng-upgrade diri dengan menambah pengetahuannya untuk mendidik anak-anak mereka. Jadi wajar saja kalau ada teman yang bisa kecanduan ikut acara seminar parenting seperti ini. Pada Kuliah umum kali ini, walau memang didominasi para bunda, ternyata banyak juga para ayah yang semangat untuk mengikuti acara. Materi pertama dari Psikolog lulusan UI, Drs. Adriano Rusfi, S.Psi atau yang sering di sapa Bang Aad. Beliau menyampaikan materi Melahirkan Generasi Aqil Baligh untuk Peradaban Indonesia yang Lebih Hijau dan Lebih Damai. Kon

Oleh-oleh dari Kuliah Umum Septi Peni Wulandani

Biarkan anak tumbuh alamiah sesuai fitrahnya. Itu pesan kuat yang saya tangkap dari acara kuliah umum Ibu Septi Peni Wulandani di Aula Perpustakaan Bapusibda Jl. Kawaluyaan Indah II Bandung. Kuliah Umum dengan tema Menjadi Ibu Profesional untuk Mencetak Generasi Handal diprakarsai oleh Institut Ibu Profesional Bandung dengan bekerja sama dengan Bapusibda Jawa Barat. Pada Sabtu, 10 Oktober 2015, selama lebih dari 1 jam sekitar 200 lebih peserta terbius cerita Bu Septi yang begitu kocak namun penuh inspirasi berharga. Siapa Bu Septi? Ternyata banyak juga yang belum mengenal Ibu kelahiran 21 September 1974 ini. Maka wajar ketika moderator merasa perlu menampilkan selusin prestasi keren beliau, diantaranya: Ibu Teladan versi Majalah Ummi 2004 Danamon Award 2006 kategori Individu Pemberdaya Masyarakat Tokoh pilihan Majalah Tempo 2006 Inovator Sosial pilihan Pasca Sarjana FISIP UI 2006 Woman Enterpreuner Award Ashoka Foundation 2007 Ikon 2008 bidang IPTEK versi Majalah