Setiap masuk Gramedia, saya rasanya seperti orang puasa yang
kelaparan dan siap menyantap segala jenis makanan menggiurkan yang terpajang di
meja saji berlabel best seller. Benar-benar menggugah selera dan membuat air liur menetes melihat
pajangan buku menggoda iman dengan wangi sedap kertas yang membangkitkan hormon
endorfin. Berbahaya. Membuat kecanduan.
Walau Gramedia terbesar dan terlengkap di Bandung ada di Jl.
Merdeka, favorit saya tetap Gramedia Trans Studio Mall. Tidak terlalu besar,
tapi cukup optimal untuk menghabiskan waktu sekitar 30 menit - 1 jam mencicip
sejumlah menu-menu baru yang tersaji. Sekitar 2 kali sebulan, pastilah kami
sekeluarga setor muka ke Gramedia. Sepertinya tidak mungkin ke Trans Studio
Mall tanpa masuk restoran eh toko buku di ujung mall terbesar di Bandung ini.
Saya pernah menonton sebuah film mengenai orang yang
terperangkap di dalam sebuah toko dan bersenang-senang semalaman di sana. Sejak
saat itu, saya pun jadi senang mengkhayalkan bisa semalam terperangkap di
Gramedia. Semalaman terperangkap dalam gelimangan buku-buku bagus. Yummy. Nikmatnya....
What a dream!
Tapi saya juga sebenarnya benci Gramedia. Gramedia menguras isi
dompet saya tanpa ampun. Jarang sekali bisa selamat keluar dari Gramedia tanpa
harus buka dompet. Mending bukunya murah, mahal lagi. Yang lebih tidak sopan,
kecepatan munculnya masakan eh buku baru – yang bagus – tidak seimbang dengan
kecepatan membaca dan arus pemasukan ke dalam dompet.
Sebuah buku itu perlu di skimming dulu, baca sekilas buat
tahu point-point pentingnya. Setelah itu di baca sambil digarisbawahi bagian
yang penting-pentingnya. Biasanya, saya suka meresume setiap buku yang sudah
dibaca untuk pemahaman yang lebih mendalam. Kemudian isi buku didiskusikan
dengan beberapa teman. Baru sambil jalan, isi buku tersebut dipraktekkan atau
diserap manfaatnya dalam kehidupan sehari-hari. Gramedia tidak pernah perduli
dengan itu semua. Setiap minggu ada saja menu baru yang memaksa untuk kita
untuk icip-icip. Dan kemudian buku yang sudah dikasih MSG penyedap rasa itu,
menghipnotis kita untuk harus dimiliki. Bukunya nempel ditangan kita dan nggak
bisa lepas. Harus ada di rak buku di rumah. Akibatnya daftar wishlist book nggak pernah kosong.
Bahkan makin mengular.
Walau demikian cintanya saya pada Gramedia, tetap saja ada
ada hal yang mengganjal dari gudang ilmu yang satu ini. Kemampuan karyawannya
yang rada parah soal info berbukuan! Mereka sekedar orang bayaran yang digaji untuk
menjadi penjaga toko buku. Mereka bukan orang yang suka baca buku. Buktinya
mereka susah payah jika kita tanya mengenai info sebuah buku atau seorang
penulis. Ada karyawan yang bahkan tidak bisa mengeja nama seorang penulis best
seller! Andalan mereka adalah mesin pencari yang tersedia - dengan meminta kita
mengeja nama penulis atau buku yang dicari.
(425 kata)
Komentar
Posting Komentar