“Ya Allah, ijinkan anak-anak kami untuk
bersekolah di pesantren seperti Pondok Madani”. Ide itu langsung berkelebat
dikepala saya dan suami setelah membaca novel Negeri 5 Menara. Kami pun browsing
mengenai pesantren di Indonesia, seperti apa kehidupan pesantren, bagaimana
caranya mengenalkan semangat pesantren ke anak, hingga ke biayanya. Padahal
anak kami masih balita. Luar biasa, betapa sebuah novel bisa demikian menjual
dan membuat kita segera bergerak untuk melakukan sesuatu. Bukan sekedar dibaca
dan dilupakan. Itu kelebihan Negeri 5 Menara yang utama. Sebuah novel biografi yang
penuh inspirasi tentang perjalanan hidup seorang Alif.
Trilogi 5 Menara
adalah a must read book for everyone.
Benar-benar membuka mata kita mengenai arti Islam yang sebenarnya. Masih banyak
orang yang berpendapat bahwa pesantren itu berpandangan sempit, tidak terbuka
hingga ekstrim ala teroris. Dengan membaca Trilogi 5 Menara, kita akan kembali
diingatkanmengenai esensi dari Islam yang sebenarnya. Trilogi ini mempopulerkan
3 mantra sakti yang telah menginspirasi begitu banyak orang: Man jadda wajada –
Siapa yang bersungguh-sungguh pasti sukses, Man shabara zhafira – Siapa yang
bersabar akan beruntung, dan Man saara ala darbi washala – Siapa yang berjalan
di jalannya akan sampai di tujuan. Mungkin banyak orang pernah mendengar ketiga
petuah diatas, seperti kita mendengar petuah jangan besar pasak daripada tiang,
atau bersusah-susah dahulu bersenang-senang kemudian. Namun petuah tersebut
lewat begitu saja tanpa pengamalan dari kita yang mendengarnya. Dalam trilogi,
petuah tersebut dipraktekkan kedalam suatu cerita perjalanan hidup sehari-hari
seorang manusia yang mudah dicerna. Itu yang membuatnya begitu menyentuh dan
membuat pembaca akhirnya termotivasi ke arah yang lebih baik. Luar biasa.
Pemilihan bahasa Trilogi
5 Menara – jika dianalogikan sebagai busana - saya nilai sangat casual dan
manis. Tidak berlebihan, ringan dan mudah dicerna, sekaligus indah. Alur
ceritanya juga sederhana, lurus dan dengan rasa penasaran pembaca yang terjaga.
Terkadang ada buku yang begitu bikin penasaran, tetapi karena bahasanya terlalu
berat, membuat kita akan langsung pindah ke halaman belakang untuk mengetahui
akhir cerita.
Namun sebagai sebuah
novel biografi, saya kurang menyukai tokoh Alif yang saya nilai terlalu dilihat
dari sisi baiknya saja. Terlebih pada buku ke-3, Rantau 1 Muara. Dalam Trilogi
ini, sisi buruk Alif hanya digambarkan dalam kejadian-kejadian tidak
menyenangkan yang menimpanya, seperti kekurangan uang, kematian ayahnya atau
dikalahkan saingannya. Padahal menurut saya, no body perfect. Setiap orang memiliki sisi baik dan sisi buruk. Seperti
biografi Steve Jobs karya Walter Isaacson atau Man of Honour William
Soeryadjaya karya Teguh Sri Pambudi dan Harmanto Edy Djatmiko. Kedua buku ini
memang bukan novel, tapi menurut saya ia menggambarkan si tokoh apa adanya
lengkap dengan kekurangannya. Betapa pemarahnya Steve Jobs atau betapa
memanjakan anak dan borosnya William Soeryadjaya, dan itu membuat mereka lebih
terasa manusiawi. Berbeda rasanya dengan membaca perjalanan hidup pesanan orang
lain seperti yang biasa ditulis oleh Alberthiene Endah. Selalu hanya sisi
baiknya saja. Itu membosankan dan tidak realistis.
Atau memang
demikianlah cara menulis novel yang baik, dimana tokoh baik akan selalu jadi
tokoh baik dan kekurangannya tidak perlu diperlihatkan? Mungkin ini yang perlu
dipelajari lebih jauh bersama seorang Ahmad Fuadi.
(488 kata)
(488 kata)
Komentar
Posting Komentar