Itu adalah jawaban
Danya “Yayi” Dewanti, istri A.Fuadi, ketika ia menyampaikan niatnya untuk
menulis sebuah novel tentang perjalanan kehidupan di sebuah pesantren.
Pertanyaan ini terlontar karena Fuadi bukanlah seorang pembaca novel, sedangkan
sebaliknya, sang istri adalah pembaca novel yang tahu betul dimana letak
kesulitan membuat novel. Terutama bagi seorang yang sebelumnya hanya terbiasa
menjadi penulis reportase.
Perbedaan yang utama
antara penulis reportase dan novelis adalah unsur emosi. Kita tidak boleh
memasukkan unsur emosi ke dalam sebuah liputan berita, berbeda dengan novel
dimana unsur emosi menjadi energi utama yang menghidupkan cerita.
Maka mulailah proyek
ini dijalankan, 2 tahun sebelum bukunya terbit di tahun 2009. Mbak Yayi, khusus
menghadiahkan sebuah buku yang dibelinya di Singapura, Writing a Novel karya
Nigel Watts. Pulang kampung pun dilakoni untuk membongkar arsip lama berupa
setumpuk diary yang ditulis sejak SMP. Banyak detil cerita dan emosi yang dapat
digali dari sana. Berkat jasa Amak, didapatkan pula sekumpulan surat yang dikirim
dari Gontor, bahkan dengan penomoran yang runtut. Selain itu, ia juga berkeliling menemui teman-teman
dan menyampaikan ide menulis novel yang akan mengangkat kehidupan pesantren. Banyak
orang yang mendukung dengan turut memberikan masukan berharga. Foto-foto dan
buku catatan bertulisan tangan juga menjadi referensi penting.
Bagi yang ingin
menulis buku namun belum pernah mengalami atau mengunjungi lokasi yang ingin
diceritakan, yang dapat dilakukan adalah dengan browsing di internet, melihat
video yang diunggah di You Tube atau mewawancari orang yang telah mengalami.
Buku Negeri 5 Menara ditulis
semasa Fuadi bekerja di NGO konservasi internasional, The Nature Conservancy.
Waktu untuk menulis adalah sekitar 1 jam setelah subuh dan jika tidak lelah,
bisa dilanjutkan sebentar disaat pulang kerja di malam hari. Dengan cara seperti
itu, buku sepanjang 90.000 kata ini dapat ditulis dalam waktu sekitar 1 tahun.
Untuk menjaga alur cerita dan mood-nya
terjaga selama 1 tahun itu, ternyata ada kiatnya.
Apa Rahasianya?
Penulis kelahiran
1972 ini membuat Mind Mapping tentang buku yang akan ditulisnya (lebih lanjut
tentang mind mapping bisa baca bukunya Tony Buzan). Semua ide besar dan alur cerita
dari awal sampai akhir telah dituangkan ke dalam sebuah kertas besar yang
ditempelkan di depan komputer. Kapan saja akan menulis, tinggal melihat pada
mind map tersebut dan mengembangkannya. Selain Mind Map, yang tidak boleh
ketinggalan adalah Kamus dan Thesaurus (kamus padanan kata). Amunisi tambahan
lain yang juga tidak kalah penting adalah sejumlah buku mengenai menulis novel
seperti: How to Write a Damm Good novel karya James N.Frey; Characters, Emotion
& Viewpoint karya Nancy Kress; Writing Down the Bones karya Natalie
Golberg; Aspects of the Novel karya E.M. Forster; Becoming a Writer; Revision
and Self editing karya James Scott Bell. A to Z nya menulis novel ada dalam
buku-buku tersebut.
Setelah menulis
rampung sekitar 75%, mulailah kasak-kusuk mencari penerbit. Menurut penelitian
yang dilakukan, ada 2 penerbit besar di Indonesia yaitu grup Gramedia dan Mizan.
Penerbit besar memiliki jaringan pasar yang kuat dan sistem yang telah teruji,
namun tentu saja proses seleksi buku menjadi sangat ketat dan butuh waktu lama.
Untuk mengetahui apakah buku kita akan diterima atau tidak oleh sebuah
penerbit, umumnya diperlukan waktu minimal 3 bulan. Untuk menyiasatinya, mantan
wartawan Tempo dan VOA ini memulai dengan menghubungi orang yang pengalaman
menulis buku di penerbit besar. Orang tersebut menyarankan untuk sebaiknya
mengenal orang dalam, karena proses seleksi buku itu sangat ketat dan butuh
waktu lama. Setelah mendapatkan e-mail seorang editor, ia pun mengirimkan
karyanya kepada editor tersebut. Beberapa bab penting dikirimkan tidak hanya
kepada 1 penerbit, namun 2 penerbit
besar sekaligus. Menurutnya tidak ada salahnya untuk mencoba hal itu. Mungkin
karena konten cerita yang kuat dan menarik, pagi naskah dikirim, siangnya ada
telpon bahwa mereka tertarik untuk menerbitkan Negeri 5 Menara. Dari kedua
penerbit!
Editor itu sebenarnya
kesulitan juga membaca tumpukan naskah, jika ia mendapat rekomendasi sebuah
buku yang menarik, tentu itu yang akan dia utamakan. Rekomendasi dari
penulis-penulis besar juga cukup di dengar. Iwan Setyawan dengan bukunya 9
Summer 10 Autum juga merupakan salah satu contoh buku yang di endorse lulusan Hubungan Internasional
Unpad ini.
Dalam dunia
penerbitan, bertemunya konten cerita yang unik, tim marketing yang hebat,
moment yang pas sangat mempengaruhi kesuksesan sebuah buku. Pada penerbit
besar, buku kita menjadi seperti berada pada ban berjalan. Setelah proses
seleksi yang ketat, buku kita akan diterima, diedit, dicetak, dipasarkan dan
selesai. Proses ini bisa jadi sangat cepat dan tidak terasa buku kita pun
tenggelam. Tim marketing ini juga sangat berpengaruh. Dengan tim yang terbatas
(Gramedia memiliki sekitar 10 orang untuk tim ini), dan begitu banyak buku yang harus terbit,
mereka akan menyeleksi ketat mana buku yang perlu di dukung dengan sepenuh
tenaga, dan mana yang tidak.
Setelah
mendapat persetujuan bahwa bukunya akan diterbitkan oleh penerbit, scholarship hunter ini minta waktu untuk
menyelesaikan novelnya beberapa bulan. Setelah itu novelnya ini di berikan
kepada sekitar 20 orang dengan berbagai latar belakang untuk mendapatkan
masukan. Disini perlu keluasan hati dari seorang penulis untuk menerima kritik.
Terkadang kita akan marah ketika tulisan kita dikritik oleh orang yang mungkin
saja kita anggap tidak bisa menulis atau bisanya hanya sekedar menulis status
facebook saja. “Siapa elu?,
berani-beraninya komentarin jelek tulisan gua”. Namun bagaimanapun juga,
kita harus sadar, bahwa itu adalah representasi pembaca dari berbagai kalangan.
Penting untuk melatih kemampuan mencairkan ego penulis dengan berlatih menerima
masukan orang lain. Penulis memang perlu untuk menerima masukan dari khalayak
untuk memperkaya tulisannya. Seperti beberapa kritik yang menilai tulisan Negeri 5 Menara terlalu kaku,
karena pada dasarnya Fuadi bukanlah penulis sastra dengan bahasa mendayu-dayu.
Menurut A.Fuadi, Writing is art and craft.
Craft adalah
keterampilan penulisan yang dapat dipelajari siapa saja. Sedangkan art adalah
seni yang masih misteri karena disana ada yang disebut sebagai keberuntungan,
bakat dan kerja keras. Ini tidak ada teorinya.
Setelah 3 bulan buku
terbit, mulailah ada PH yang menghubungi dan ingin mengangkat Negeri 5 Menara
ke film. Menurut Fuadi, membuat buku itu seperti melahirkan bayi. Kita
lahirkan, kita besarkan, kita sayang. Dan ketika hendak dibuat film, itu
seperti memberikan bayi kita kepada orang lain. Bisa jadi salah asuhan dalam
tangan orang lain. Makanya ada perasaan berat untuk melepasnya. Namun tawaran
tetap datang hingga 7 PH yang berminat. Akhirnya mulai berpikir ulang mengenai
manfaat memindahkan media buku ke media film. Buku Negeri 5 Menara terjual sekitar 400.000 buku, jika
dianggap 1 buku dibaca 5 orang, paling hanya 2 juta orang Indonesia yang membacanya.
Padahal penduduk Indonesia lebih dari 200 juta orang. Hanya 1%! Jika pindah
media ke film, bisa jadi akan dinikmati oleh lebih banyak orang. Maka akhirnya
disetujuilah pembuatan film tersebut. Perpindahan media ternyata juga penting.
Negeri 5 menara tidak hanya dibuat dalam bentuk buku dan film, tetapi juga
dibuat versi bahasa Inggrisnya, dipindahkan kepada media komik hingga ke game.
Ketika syuting film
di Gontor sekitar tahun 2011 yang melibatkan sekitar 1000 figuran dan 100 kru
dari Jakarta, terjadi hiruk pikuk di lokasi. A. Fuadi pun merenung di pojokan. Orang-orang ini ngapain saja ya begitu repot
dan heboh. Mengapa? Hanya karena segores kata yang dituliskan. Segores kata
yang dituliskan bisa begitu luar biasa efeknya. Bukan hanya bagi penulisnya,
namun juga bagi begitu banyak orang.
Kata itu lebih
powerful daripada peluru. Ia bisa menginformasikan sesuatu, menginspirasi,
menggerakkan orang. 1 peluru hanya bisa menembus 1 kepala, namun 1 buku bisa
merasuk kejutaan kepala selamanya. Melintasi zaman dan generasi. Penulis itu
umurnya panjang, selama tulisan kita dibaca orang, selama itulah panjang usia
kita. Menulis dari hati akan sampai ke hati.
Hanya karena segores
kata yang dituliskan.
(1216 kata)
Tulisan ini merupakan hasil rangkuman saya terhadap sejumlah pertanyaan peserta Akademi kepada Bang Fuadi pada pertemuan pertama.
Komentar
Posting Komentar