Sebuah tabel dalam kertas A4 yang diprint rapi.
Pada baris teratas dari tabel yang berjudul My Routine itu terdapat kolom yang
menunjukkan waktu, nomor, aktifitas dan angka 1 hingga 10 yang sepertinya
mewakili tanggal. Dibawahnya tercantum durasi dalam jam ke jam dan aktifitas yang dilakukan pada jam tersebut.
Ada contrengan ceklist dan silang dibawah kolom angka 1 dan 2. Dan di baris
terbawah terdapat baris bertuliskan Today Score.
“Itu jadwal rutin saya” katanya dengan raut
muka seperti tersipu malu.
Jadwal itu cukup detil.
3.00 (1) Bangun
3.00 – 3.30 (2) Tahajud
3.30 – 4.30 (3) Mempersiapkan sahur dan makan sahur
4.30 – 5.00 (4) Sholat subuh
5.00 – 6.00 (5) Menulis
6.00 – 6.30 (6) Jalan pagi
6.30 – 7.30 (7) Mengurus sarapan dan
mandi anak-anak
7.30 - 8.00 (8) Sholat dhuha dan
aktifitas santai di luar rumah
8.00 – 11.00 Free time
11.00 – 12.00 (9) Menyiapkan
masakan siang anak-anak
12.00 -1.00 (10) Sholat zuhur
1.00 – 3.00 (11) Story time dan bobo siang anak-anak
3.00 – 4.00 (12) Sholat ashar
4.00 – 5.00 (13) Memasak untuk buka puasa
5.00 – 5.30 (14) Mandi sore
5.30 – 6.00 (15) Makan malam
anak-anak
6.00 – 6.30 (16) Buka puasa, sholat magrib
6.30 – 7.00 (17) Makan malam dan
mencuci piring
7.00 – 8.00 (18) Sholat Isya dan tarawih
8.00 – 9.00 (19) Anak-anak
minum susu, sikat gigi, dan story time pengantar tidur
9.00 – 10.00 Free time
10.00 (20) Tidur
Terus terang saya agak bingung melihat dalam
tabel tersebut terdapat aktivitas rutin bulan Ramadhan seperti Saur, Berbuka
puasa dan Tarawih. Padahal saat itu baru bulan Sya’ban, 1 bulan menjelang Ramadhan.
“Kamu sudah menjalankan puasa sekarang?”
“Kamu beneran ini selalu bangun pukul 3?”
“Ini serius kamu kerjakan semua?”
Cecar saya dengan penasaran. Saya kenal Rita
sudah lumayan lama. Dan saya tahu dia bukanlah orang yang begitu disiplin. Bahkan
lebih tepat dikatakan terlewat
santai. Dia jelas bukan morning person
yang biasa bangun pagi. Sering kali saya lihat dia tergesa-gesa
mengantarkan anaknya ke sekolah dalam kondisi lusuh belum mandi atau
terlihat bersantai-santai mengobrol dengan tetangga tanpa batas waktu.
Bagaimana ceritanya dia tiba-tiba keluar dengan jadwal seperti ini? Mana dalam
2 hari pertama tampaknya banyak tanda cek dengan angka mendekati 10 pada tulisan di Today Scorenya.
“Ah jadi malu nih, sebenarnya ini jadwal
impian”, katanya mulai menjelaskan. “Saya kepingin banget bisa menjalani
aktivitas rutin seperti itu. Kamu tahu kan Shan, betapa lemahnya saya soal
kedisiplinan mengatur waktu? Benar-benar parah. Akibatnya sangat kacau, hidup
saya jadi tidak efektif dan tidak teratur. Kalau dulu waktu masih sendiri
mungkin saya saja yang dirugikan, namun sekarang saya punya anak dan suami yang
bergantung pada saya. Jadwal
makan anak saya sering berantakan karena Mamanya asyik menonton TV atau malas
memasak, akibatnya jadi pada rewel dan mengganggu. Belum lagi jika mereka
akhirnya jatuh sakit karena keteledoran saya. Pokoknya saya merasa banyak
banget ruginya kalau tidak punya disiplin dalam mengatur waktu ini.”
“Ya kenapa tidak kamu jalankan saja, kenapa
repot-repot pakai jadwal seperti ini?” tanya saya masih heran.
Mama yang aneh.
“Saya pelupa”, jawabnya singkat
“Hi…hi…, memang….”
“Pelupa yang akut”
“Can’t agree more”
Rita ini memang salah satu teman saya yang
mempunyai memori terbatas dalam hal tertentu. Bukan tidak cerdas mengingat dia
begitu luar biasa dalam mengingat sesuatu seperti detil buku yang dibacanya dan
menceritakan lagi kepada orang lain, namun kalau dilihat dari betapa susahnya dia untuk menghapalkan
perbedaan antara kemiri dan ketumbar, kesimpulan memori yang terbatas rasanya
tidak terlalu salah.
“Kamu tahu nggak, sesering apa saya buat jadwal ini?,” lanjutnya.
“Maksudnya?”
“Memajang jadwal di softboard ini, dan
membiarkan orang cerewet seperti kamu melihatnya, merupakan strategi saya yang
ke 1001 kalinya”.
“1001 kali?”
“Ya 1001 kali, mungkin lebih. Entah kenapa saya tuh hobi banget menulis
rutinitas harian itu. Saya punya banyak versi loh. Setiap kali saya mulai
merasakan hidup saya kacau dan berantakan, saya akan mulai menuliskan jadwal
rutin tersebut. Jadwal ini ada di notes kecil, diary, kertas lepasan, handphone, hingga tablet saya. Ada
yang sekedar tulisan tangan. Ada juga yang dibuat dengan word yang menggunakan
gambar-gambar clipboard yang menarik. Ada versi excel yang lebih canggih dengan
dilengkapi dengan tabel score yang dapat dilihat dalam bentuk grafik. Oh iya,
yang saya paling suka adalah jadwal dalam bentuk lingkaran jam. Saya buat 2
lingkaran jam untuk am dan pm, kemudian aktivitasnya saya masukkan sesuai jam.
Untuk setiap hari saya punya 1 pasang jam.”
Benar-benar orang yang
aneh.
“Ada mungkin 5 tahun terakhir saya terobsesi
sama jadwal ini. Namun sayangnya saya selalu gagal melaksanakannya. Paling top
kesuksesan saya hanya 5 atau 7 hari. Belum pernah lebih dari 1 minggu. Entah
kenapa. Padahal saya sudah coba dengan beragam model jadwal. Sampai stress dan
frustasi saya dibuatnya. Kalau dilihat diary saya 5 tahun terakhir, atau
bisa jadi juga sebelumnya, tulisan rutinitas ini mungkin akan mengisi setiap 2
atau 3 bulan sekali. Selama belum mampu melaksanakannya, saya akan
mengulang-ulang membuat jadwal yang tidak pernah ditepati itu. Kalau
diary A.Fuadi bisa menghasilkan Trilogi 5 Menara yang jadi best seller, akan kemana kiranya diary saya yang berisi catatan
rutin jadwal impian yang diulang-ulang akan bermuara?”
Mungkin akan jadi template
journal harian bagi kaum freak, Rit.
“Bener sih, pasti rada frustasi,” kata saya berusaha mencoba empati
melihat mukanya yang mulai agak memelas mengharukan.
“Selama ini saya menulis jadwal ini
sembunyi-sembunyi. Saya selipkan di dalam jurnal, dalam file yang berpassword,
sampai ditempel di balik lemari yang orang lain tidak bisa lihat. Bahkan
terkadang, saya sendiri lupa saya taruh dimana.
Pantas saja selalu
gagal. Lah dia sendiri lupa.
“Saya malu kalau dilihat suami saya, dilihat
anak saya yang kritis, dilihat si Bibi yang bantu-bantu, apalagi kalau sampai dilihat orang
lain seperti kamu. Makanya sekarang saya coba lagi strategi ke
1001. Memajang jadwal itu di tempat yang mudah terlihat. Resiko dilihat orang
lain, akan menjadi konsekuensi yang mudah-mudahan bermanfaat. Nah berhubung
kamu sudah tahu Shan, bantu saya jadi pengawas ya. Bantu saya buat bisa
disiplin menepati jadwal itu. Ingatkan saya kalau saya mulai lupa dan malas.
Serius Shan, saya bosan gagal terus untuk urusan ini. Saya ingin jadi penulis
terkenal dan menginspirasi orang banyak. Tapi bagaimana caranya jika urusan
sesederhana ini saja saya belum mampu. Semua penulis hebat itu memiliki
kedisiplinan yang tinggi, pekerja keras dan memiliki kemauan yang kuat. Ahmad
Fuadi, Habiburrahman El Shirazy dan banyak penulis besar lainnya saya tahu
biasa menulis di pagi hari. Kira-kira saya akan kemana kalau saya tetap
mempertahankan pola
tidur lagi setelah sholat subuh dan baru benar-benar bangun pukul 7 pagi?
Rasanya mimpi saya buat memiliki buku yang setara dengan buku mereka hanya akan
tinggal mimpi, kalau
saya tidak mau berubah juga. Kamu mau bantu saya kan Shan?”
Sekilas saya melirik jajaran rak buku disamping
komputernya. Diantara jajaran sejumlah novel
favoritnya ada sebuah pinggiran
buku berwarna putih yang mencolok. Dengan tulisan spidol merah terdapat tulisan
My Book. Saya pun tahu, Rita tidak main-main dengan mimpinya. Ternyata tidak
semua orang perlu gambar rumah atau mobil mewah didepan cerminnya untuk
memotivasi diri.
“Tentu saja Rit, kamu pasti bisa. Apa yang saya
bisa bantu?”, entah mengapa rasanya aura semangat Rita mulai menular ke saya. Kalau
Rita yang aneh bin ajaib ini bisa punya mimpi yang akan diwujudkannya, saya
juga mestinya bisa.
“Bantu periksa jadwal saya itu, ingatkan saya
kalau saya mulai malas atau bolong-bolong. Saya perlu merutinkan hal itu selama
30 hari. Karena yang saya tahu, kebiasaan itu akan terbentuk setelah 30 hari.
Mumpung ini masih ada waktu 1 bulan sebelum Ramadhan. Saya ingin menghadapi Ramadhan
dengan kemampuan yang telah dipersiapkan dengan baik. Jangan sampai di
bulan Ramadhan, di bulan penuh
berkah, saya hanya kembali sukses cuma di 7 hari pertama. Targetnya, jika saya
sudah biasa dengan kebiasaan baru ini selama 30 hari sebelum Ramadhan, ketika Ramadhan tiba, saya bisa lebih fokus
ke arah yang lebih serius.”
Maka mulai hari itu saya pun resmi diangkat menjadi
pengawas yang akan memperhatikan
kemajuan usaha Rita mendisiplinkan dirinya.
Minggu pertama
Saran saya,
untuk Rita yang pada dasarnya pola hidupnya berantakan, mulailah dari yang
paling sederhana dan paling memungkinkan untuk dilaksanakan terlebih
dulu. Tidak perlu 20 kebiasaan
itu harus ia lakukan semuanya. Mulailah melatih 5 kebiasaan dulu. Misalnya
melatih kebiasaan sholat fardhu 5 waktu diawal waktu. Mengapa sholat fardhu? Ini adalah
dasar kedisiplinan dan patokan waktu. Waktu bangun adalah sholat subuh, waktu
makan siang adalah sholat zuhur, waktu tidak boleh tidur lagi agar malamnya
jangan tidur terlalu malam adalah sholat ashar, magrib adalah waktunya makan
malam dan isya adalah patokan untuk persiapan istirahat malam.
Buat orang lain ini mungkin
mudah, tapi bagi Rita, ini
dapat menjadi modal yang penting baginya sebelum berusaha menjalani kebiasaan lain yang lebih sulit.
Rita pun setuju. Di stabilo kuningnya jadwal
aktivitas ke-4 untuk sholat subuh, ke-10 untuk sholat zuhur, ke-12 untuk sholat
ashar, ke-16 untuk sholat magrib dan ke-18 untuk sholat isya.
Hari ke-1 Sempurna. Pinter
banget. Hari ke-2 Lumayan. Hari ke-3 Satu waktu sholat terlewat. Hari ke-4
Bubar semua karena ada ajakan jalan ke mall seharian. Hari ke-5 Masih bubar
karena masih kecapaian setelah jalan-jalan kemarin. Hari ke-6 Rita mulai malas mencatatnya. Hari ke-7
Oke, ini waktunya saya menginterfensi mengingat
strategi ke 1001 ini pun tampaknya akan kembali gagal dengan mulus.
“Rit, kok kosong? Ayo dong diisi lagi jadwalnya”
“You’re not the looser, you have to win this, urusan begini saja masa tidak mampu, bagaimana mau meraih mimpi lain yang lebih
berkelas?” tantang
saya.
“Terima kasih diingatkan, sepertinya kamu harus
lebih intens mengingatkannya Shan” jawabnya malu.
“Bener nih? Siap-siap saya recokin ya.”
Minggu kedua
Rita tidak putus asa dan kembali dengan semangat baru di minggu kedua.
Kami mencoba lagi. Pakai doa Man Jadda
Wajada. Siapa yang bersungguh-sungguh, pasti akan berhasil. Minggu kemarin
kenapa target sholat 5 waktu itu gagal? Karena Rita pada dasarnya lemah kemauan dan gampang lupa. Dia perlu
orang lain untuk membantunya memotivasi dirinya. Saya pun mulai memasang alarm
untuk mengingatkan Rita.
“Rita, azan Bu, Sholat. Jangan lupa ceklist
jadwalnya”, sms saya.
“Done.
Thanks”, sebuah pesan singkat masuk tak lama kemudian.
Kami juga memasukkan 2 target baru pada minggu
ini. Yaitu mengerjakan hobinya menulis dan berolahraga pagi. Untuk menulis,
saya kira Rita tidak menemukan kesulitan berarti, karena itu memang hobinya. Sementara
dalam urusan olahraga, ini
agak sedikit bermasalah,
karena susah menemukan kata olahraga dalam kamus Rita. Nah berhubung saya sendiri sejujurnya sudah lama
memendam niat luhur untuk selalu disiplin berolahraga, maka saya pun memutuskan
untuk menjadi teman lari paginya. Ternyata memang benar, kalau kita punya
teman, yang susah jadi bisa terasa lebih mudah.
Lumayan, minggu ini nilai today score-nya lebih
baik dibandingkan minggu pertama.
Minggu ketiga
Ketidakmampuan menentukan
prioritas ternyata juga
merupakan kendala berarti. Mana yang lebih penting antara sarapan pagi yang
sehat dengan bergosip dengan tetangga? Bisa jadi karena tidak sarapan pagi,
otak kita lebih
mendukung untuk mencari
informasi ‘penting’ dari tetangga selama berjam-jam dengan pembenaran itu
adalah sumber materi tulisan yang sangat menarik. Ada-ada saja, padahal apa
bedanya jika sarapan dulu, baru bergosip kemudian. Lagipula bukankah bisa cari materi seperti itu dari
bahan bacaan atau internet.
Rita ini terkadang
memang suka banyak alasan.
Minggu ini target kami lebih kearah masalah
rumah tangga, seperti menyiapkan masakan dan mencuci piring sebelum tidur. Buat
Rita yang tidak bisa masak dan selalu mengandalkan si Bibi sang Dewa Penolong,
tentu saja merupakan kendala tersendiri. Seminggu ini dia mulai rajin mencatat
dengan teliti bagaimana cara si Bibi memasak dan berusaha dipraktekkannya
keesokan harinya. Dimulai dari masakan sederhana yang dapat disiapkan dengan
mudah di saat Ramadhan.
Minggu keempat
Pada minggu keempat, Rita mulai menjalankan ritual
puasa dengan tujuan agar minggu depannya tidak terlalu kesulitan mengikuti
kebiasaan baru. Mulai bangun pukul 3 dinihari untuk mempersiapkan makan sahur,
hingga melatih mempersiapkan makan untuk berbuka puasa di sore harinya.
Selain itu kami juga memasukkan target baru
yang berhubungan dengan pengasuhan anak-anak. Ini memang agak repot.
Mendisiplinkan emaknya saja susah, apalagi mengajak anak balita untuk disiplin.
“Sebenarnya ini salah satu motivasi saya Shan.
Saya disiplin ini maunya sebagai teladan buat anak-anak.” jelasnya.
“Saya tahu kedisiplinan itu penting. Walau tidak
mudah. Tapi saya juga tidak mau anak saya menyerah melawan kemalasannya. Saya
harus menunjukkan kalau saya bisa ke anak-anak saya. Saya tidak mau mereka
memiliki pemikiran, kalau
Mamanya tidak bisa
disiplin, kenapa juga kami harus disiplin? Mereka harus bisa melihat, kalau Mamanya bisa, mereka juga pasti bisa”.
“Masuk akal…”, kata saya sambil mikir, antara berusaha mencari hubungan
sebab akibat dan terpesona.
Sambil berpuasa, target Rita minggu ini adalah
mendisiplinkan anak-anaknya untuk makan, mandi dan menidurkan mereka
pada jam yang teratur. Walau
tidak terlalu mulus, namun sudah mulai terlihat arahnya.
Marhaban ya Ramadhan
Akhirnya Ramadhan pun tiba. Rita telah mempersiapkan diri 1 bulan
sebelumnya. 20 kebiasaan baru
telah dilatihnya walau belum sempurna seluruhnya. Namun setidaknya tunas rasa percaya
dirinya telah tumbuh karena
ia mampu mendisiplinkan
dirinya, walau dengan bantuan orang lain. Insya Allah ini akan menjadi Ramadhan
tersukses buat Rita. Sebagai modal untuk menjalani 11 bulan kedepannya.
For the first time in forever, finally she did
it!
(2130 kata)
Catatan tentang
tulisan:
Tulisan diatas
merupakan jawaban atas feedback yang diberikan Bang Fuadi dalam e-mailnya
tanggal 5 Mei lalu, yaitu:
1. Mengapa tulisan
tersebut layak disebut undercover?
Saya memahami
undercover sebagai sesuatu yang tidak biasa, mengangkat suatu kisah yang tidak
umum. Bagi saya topik melatih kedisiplinan dalam arti yang lebih dalam
(khususnya dalam rangka momen ramadhan) adalah sesuatu yang jarang benar-benar
dipraktekkan orang.
2. Apa yang bisa
menyentil kesadaran orang? Apa manfaat tulisan ini?
Bahwa Ramadhan adalah
momen penting untuk mengasah diri menjadi lebih baik. Harus ada target dan
pencapaian dalam setiap Ramadhan yang dapat setiap muslim manfaatkan untuk
mengisi 11 bulan ke depan.
3. Kenapa orang mau
baca dan perlu baca?
Ceritanya unik,
memberikan ide untuk melakukan hal yang sejenis dan (mungkin) kocak. Cerita ini
adalah contoh nyata dalam kehidupan seseorang yang mungkin dapat dipelajari
oleh orang lain.
4. Menyelipkan humor
Ini bagian yang sulit.
Saya hanya bisa be yourself and try to be honest untuk menjawab ini.
5. Memilih fokus dan
angle tertentu
Ini sebenarnya kisah
saya pribadi, namun saya kira akan lebih menarik jika saya membuatnya sebagai
orang luar yang melihat si tokoh. Sekaligus sebagai representasi apa yang saya
ingin capai dengan tulisan ini.
6. Membuat karakter
seseorangnya unik dan menarik
Karakter Rita yang
stress sendiri untuk masalah yang mungkin bagi sebagian orang tidak penting.
7. Pikirkan judul yang
unik
Saya sengaja memilih
judul nama si tokoh dengan pemikiran biasanya orang cenderung ingin tahu
mengenai orang tersebut. Ada apa dengan si tokoh ini? Mengapa dia? Siapa dia?
What’s her story?
Dalam tugas ini saya
jadi belajar bahwa menulis itu bukan sekedar mood. Tapi juga deadline. Kalau
kita mengikuti mood, seorang penulis tidak akan terpacu untuk menyelesaikan
tulisannya. Dengan deadline, kita akan dipaksa memiliki mood. Ada atau tidak
ada mood, tulisan ini harus kelar dalam waktu 3 hari. Jadi ini masalah menulis
yang terbaik yang kamu bisa dalam waktu terbatas, selanjutnya masukan akan
berjalan selama proses revisi.
Ilmu menulis #1
Rampungkan tulisanmu!
Masukan dari Ci' Gu nih:
BalasHapusCatatan AF:
- sekilas sudah enak dibaca dan mengalir. Terasa ceritanya jujur. Dialognya juga lumayan segar. Angle bercerita ttg diri sendiri melalui orang lain adalah pendekatan kreatif. Sudah ok, tinggal perhalus dan perbaiki.
-Utk menambah menjadi believable, tambahkan detil. Misalnya warna, nama merek, nama tempat, bunyi dll. Tidak harus semua dikasih detil, tapi di beberapa tempat. Misalnya alinea pertama bisa ditambahkan (tabel berwarna hijau spotlight yang menyilaukan dan glow in the dark). Komputernya merek apa, atau warna, atau jenisnya, lalu tetangga di mana? (bisa bandung, bisa sebut perumahan perumahan apa, dll)
-coba riset, apa ada istilah psikologinya orang yg terobsesi jadwal, atau apakah ada tokoh film terkenal yg spt ini. Misalnya mr monk atau siapa yg orang bisa relate.
-karakter bisa diperkuat lagi dg penanda: kebiasaan, ciri fisik, suara dll. Misalnya dari awal sampai akhir, selalu diingatkan kalau suara Rita cempreng kayak piring pecah dll.
-Lalu biar ada drama, masukkan aroma persaingan antara 2 teman ini di akhir cerita. Kalau sosok shanti awalnya ingin bantu, tp kemudian merasa kok skrg gue yg kalah dengan kawan aneh ini. Lalu mereka berlomba2 utk kebaikan
- perhatikan juga tata bahasa dan cara penulisan eyd
-pilihkan 2 penggalan singkat dari tulisan ini yg nanti ingin di-highlight di layout.
-kalau misalnya ada 1 ilustrasi (bisa ilustrasi kartun atau stok foto) di tulisan ini maunya ilustrasi gambar apa?
-Judul bisa dicoba beberapa yang unik. Misalnya “Jurus ke 1001 Tetangga Aneh”,
-coba teknik saya, setelah nulis naskah, saya print, baca ulang, dalam diam, dan dengan bersuara. Nanti keliatan deh mana yang sebaiknya diedit. Jadi diedit di kertas, baru pindahkan ke komputer. Selamat mengedit, perkuat tulisan ini. Menjanjikan kok
wah kayaknya komen di atas udah lengkap banget tuh buat masukan :) paling nambahin dikit aja, peralihan dari omongan Rita ke suara hati Shanty, kalau dikasih jeda alinea bisa lebih ngeh kali ya yg baca. Jadi ga sekedar huruf italic aja. Sekalian kasih pembaca waktu tarik nafas :p
BalasHapusKeren eeuy, rajin nulisss :)