Dengan beredarnya sejumlah berita penipuan di sosial media berkedok
acara di sebuah hotel, jujur - saya datang ke acara ini dengan membawa prasangka
buruk. Kenapa ada seminar gratisan di Hilton? Jangan-jangan kita mau dipaksa
beli sesuatu dan kartu kredit kita bakal di sandera di sana berjam-jam? Amannya
apa simpan saja kartu kredit di rumah ya?
Tapi kalau nggak datang, sayang juga. Temanya sangat
menggoda. How to Protect Your Child without Being Overprotected. Ribet bener
emang judulnya. Padahal mbok ya kasih
judul: Bagaimana Melindungi Anakmu Tanpa Jadi Terlalu Melindungi? Atau itu sama
ribetnya? Pokoknya ngerti kan kira-kira materinya mau ke arah mana?
Pembicaranya juga menarik. Psikolog di Klinik Terpadu
Fakultas Psikologi UI, Anna Surti Ariani atau biasa dipanggil Nina
saja. Ibu 2 anak ini, followernya di Twitter sampai hampir 18 ribu orang loh.
Penyelenggaranya TigaGenerasi yang memiliki
tagline lifelong learning for family. Tempat berkumpulnya para psikolog muda
yang berbaik hati memberikan layanan edukasi psikologi dengan fokus tumbuh
kembang anak dan keluarga. Mereka sih katanya pengen bisa menjadi teman dan pusat informasi bagi keluarga Indonesia. Ternyata nama
TigaGenerasi itu maksudnya ciri keluarga Indonesia yang terdiri dari Anak,
Orang tua dan Kakek-Neneknya. Ah mulia ya niatnya. Masa sih mau nipu?
Kira-kira mereka mau jualan apa sih, ngerayu kita dengan
acara di Ballroom Hotel Hilton segala? Sponsornya Bip-bip Jam Tracker buat anak dan
T-Drive, sebuah aplikasi tracker buat mobil. Jadi kemungkinan penipuan saya dipaksa beli asuransi atau paket wisata akhir tahun rasanya kecil. Baiklah, prasangka
buruk bisa terkikis sebelum acara dimulai.
Setelah dihibur oleh paduan angklung keren dari anak-anak TK
Santa Angela, akhirnya materi dibuka oleh Mbak Nina sekitar pukul 10.30 pagi
dengan pertanyaan:
“Jika kita bicara proteksi, apa yang pertama terlintas dalam
pikiran para hadirin?”
“Asuransi!!!” teriak sebagian hadirin. O...o... *curiga mode
on.
Tapi emang bener sih, coba googling kata proteksi, itu pasti
keluar deretan panjang perusahaan asuransi. Padahal sebenarnya lingkup proteksi
itu tidak hanya masalah dana, melainkan juga masalah kesehatan, kecelakaan, dan
banyak lagi.
Fakta menyebutkan kalau sekitar 2 juta anak mengalami
kecelakaan di RUMAH dan sekitar 6 ribu anak meninggal dunia. Penyebab
kecelakaan di rumah itu bisa saja karena jatuh, terbakar (kena api, air panas, atau
benda panas lainnya), tersedak/tercekik, keracunan atau tenggelam.
Kenapa hal itu bisa sampai terjadi? Bisa saja karena
kelalaian orang tua, orang tua sibuk hal lain, perubahan rutinitas anak
sehingga kewaspadaan dirinya menurun, dan lingkungan baru yang tidak familiar
dengan anak.
Berikut fakta yang lain. Menurut data Polda Metro tahun
2014, terjadi 309 kecelakaan lalu lintas yang menimpa anak usia 0-10 tahun. Dimana
56% nya adalah kecelakaan sepeda motor. Dan yang lebih menyedihkan ternyata 11,11%
penyebabnya adalah anak-anak.
Pastikan anak kita tidak mengendarai motor sebelum ia punya
SIM. Itu adalah bagian dari proteksi. Mau badannya bongsor kek, mau bilang
semua temannya sudah pada pake motor kek, mau bilang hemat ongkos kek, tetap
saja TIDAK BOLEH anak bawa motor sebelum punya SIM. Itu adalah bentuk proteksi
kita kepada buah hati dan kepada pengguna lain di jalan raya.
Menurut WHO, kecelakaan di jalan raya adalah penyebab
kematian nomor 2 terbesar setelah infeksi pernapasan.
Proteksi pada anak
Proteksi juga harus diberikan untuk melindungi anak dari
fisik, emosional, seksual dan penelantaran.
Apakah kita sudah melindungi anak dari kekerasan fisik,
seperti mencubit, memukul, menyiram dengan air panas, menyetrika, dan yang
serem-serem lainnya?
Apakah kita sudah melindungi anak dari kekerasan seksual,
seperti menstimulasi secara seksual, meminta anak berfoto seksi-pornografi,
atau menyentuh kelamin anak dengan kasar? Dalam banyak kasus, ternyata anak
bisa tidak tahu apa itu yang disebut kekerasan seksual. Itu sebabnya lebih
bijak jika orang tua menjelaskan batas-batasnya.
Apakah kita sudah melindungi mereka dari penelantaran,
seperti tidak memberikan fasilitas yang dibutuhkan anak, menyerahkan pengasuhan
HANYA pada pengasuh, bahkan kita tidak tahu siapa saja teman-teman si anak?
Apakah kita sudah melindungi mereka dari kekerasan emosional,
seperti memberi kritik berlebihan, memarahi berlebihan, mengancam, mengejek,
mempermalukan, menghancurkan barang kesayangan anak, atau mencelakai binatang
kesayangan mereka dengan sengaja membuka pintu kandangnya?
Nah kayanya yang terakhir ini nih, banyak PR dari orang tua.
Tanpa sadar kita melakukan kekerasan emosional pada anak.
“Coba itu makan dihabiskan ya. HABISKAN! Nanti kalau nggak
Mama kasih kamu sama hantu.”
Abis itu terus ngadu-ngadu ke psikolog, “Ibu kenapa ya anak
saya jadi penakut?”
Atau terkadang kita suka main gampang mengganti pakaian anak
di tempat umum. Bisa saja itu di kolam renang atau mencoba baju di mal
misalnya. Tanpa sadar kita mempermalukan anak dengan membuka bagian tubuhnya di
muka umum. Jadi, jangan pakai malas, usahakan untuk membuka pakaian anak di
tempat tertutup.
Pemerintah sebenarnya telah menetapkan sejumlah Undang-undang
untuk melindungi anak. Ada UU nomor 35 tahun 2014 tentang perlindungan anak,
Instruksi Presiden nomor 5 tahun 2014 tentang Gerakan Nasional Anti Kejahatan Seksual terhadap anak – yang dipicu
oleh kasus JIS kemarin itu, dan Undang-undang nomor 11 tahun 2012 tentang
Sistem Peradilan Pidana Anak.
Dengan serangkaian proteksi dari pemerintah seperti itu,
lagi-lagi fakta di lapangan sangat mengejutkan. Menurut data Komnas Perlindungan
Anak (KPAI), sepanjang Januari-Mei 2015 ini telah terjadi 500 kasus kekerasan anak. Dan memperlihatkan
kecenderungan peningkatan dari tahun ke tahun. Dari data yang dikeluarkan KPAI Juni
2015, tahun 2011 terjadi 2 ribuan kasus, tahun 2012 jadi 3 ribuan kasus, tahun
2013 4 ribuan kasus, dan tahun 2014 jadi 5 ribuan kasus. Naiknya kok ya
signifikan. Serem!
Menurut Riset LSM Plan International dan ICRW (International
Center for Research on Woman) tahun 2015, 84% kekerasan terjadi di SEKOLAH.
Jadi gimana cara kita melindungi anak kita?
Apa perlu kita bebat seluruh tubuhnya tebal-tebal dan
erat-erat biar selamat dunia akherat?
Seberapa protektifkah kita perlu melindungi anak?
Seberapa protektifkah kita perlu melindungi anak?
Apa tandanya kalau kita sudah terlalu overprotective?
Mbak Nina, memberikan batasan ini untuk menilai diri kita
sendiri:
- Apakah kita mengorbankan segalanya demi melindungi anak hingga melupakan diri sendiri?
- Apakah kita mengatur kehidupan anak, seperti harus berteman dengan siapa, makan apa, pergi kemana dengan jadwal yang ketat?
- Apakah kita selalu berusaha menyelesaikan masalah anak, walau anaknya sebenarnya cuek saja?
Kalau jawabannya banyakan iya, itu artinya Anda adalah orang
tua yang overprotective.
Apa efeknya buat anak?
- Anak menjadi terlalu tergantung pada orang tua
- Anak tidak mampu membuat keputusan sendiri
- Anak takut salah
- Kepercayaan dirinya rendah
- Kurang kreatif dalam menyelesaikan masalah
- Anak justru lebih membangkang
- Anak lebih rentan depresi
Orang tua kadang tidak sadar, dengan menjadi overprotective mereka merusak masa depan anak.
Apa efeknya buat orang tua? Orang tua menjadi selalu cemas
dan terlalu sibuk mengurus si anak. Akhirnya ya tidak bahagia juga.
Pola asuh
Bicara tentang pola asuh anak, bagaikan bicara
tentang pagar di sekitar rumah. Anak-anak itu selalu berusaha menabrakkan
dirinya ke pagar.
Ada tipe orang tua
otoriter yang memilih memasang pagar
beton. Setiap nabrak, anaknya
bonyok-bonyok.
“Mama bilang kamu harus mandi sekarang. Mandi! MaNdI!
MANDI!!!!” – Bletak!
Ada tipe orang tua permisif yang bikin pagar karet yang
elastis. Bisa belok-belok mengikuti maunya anak. Tiap jam mengingatkan anak
untuk mandi karena anaknya tidak mau menurut. Anak jadi belajar bahwa segala
maunya harus diikuti. Ada kasus anak jadi mogok sekolah. Setelah ditelusuri,
ternyata masalahnya karena si anak kesal
ketika semua orang disekolahnya tidak mau menuruti maunya dia – seperti perlakuan
yang biasa diterimanya di rumah.
Ada juga tipe orang tua yang cuek dan tidak merasa perlu
pakai pagar. Bebas sebebas bebasnya. Nanti kalau lapar juga pulang sendiri.
Nah yang paling asyik tipe orang tua moderat yang pasang
pagar beton tapi pake busa yang tebal banget. Jadi anaknya nggak bonyok-bonyok
amat kalau nabrak. Aturan tetap harus ada, tapi pasanglah busa tebal berbentuk
kesepakatan yang dinegosiasikan.
Berikut sejumlah tip dari Mbak Nina yang bisa dipraktekkan:
- Sesuaikan proteksi dengan usia dan kemampuan anak. Tingkatkan kemampuan anak sedikit demi sedikit.
- Jadikanlah rumah kita rumah ramah anak. Kalau masih tinggal di mertua, diskusikanlah jalan keluarnya.
- Kelola stress kita. Slow down. Relax. Enjoy life. Take it easy. Go outside. Hubungi psikolog jika perlu. Orang tua itu harus Ok dulu, kalau mau anaknya OK juga.
- Banyak TERTAWA bersama anak. Bukan nge-tawain anak loh ya. Catat, beda itu! Ingat nggak kapan terakhir kali tertawa sama anak? Atau ingatan terakhir adalah saat memarahi anak?
- Kita dapat menggunakan trik disiplin dengan memberi tolerasi menggunakan Teknik Jam Dinding (harus mandi pada jam tertentu, dengan diingatkan sebelumnya); Teknik Hitungan (dalam 10 hitungan mainan harus rapi); Teknik Pilihan (“Mau makan brokoli dulu atau minum susu dulu?”); Teknik Abaikan (jika anak jejeritan bukan karena sakit atau sebab tertentu, teknik ini bisa juga dipakai untuk terapi anak yang suka ngomong jorok), dan Teknik Jika-Maka (Jika kamu tidur siang, kamu boleh nonton film nanti sore).
- Jangan lupa mengapresiasi pencapaian anak.
Selanjutnya ada praktek interaktif di mana setiap peserta
diberi sebuah gambar untuk mendiskusikan gambar yang terdapat disana. Apakah
gambar itu berbahaya untuk anak atau tidak? Dan bagaimana sikap kita menghadapi
kasus tersebut? Sayang saya tidak utuh mengikuti sesi ini jadi tidak bisa
cerita banyak.
Parent sharing
Dalam acara yang dipandu MC enakeun, Teddy Andika ini, ada 2
tamu spesial yang berbagi pengalaman
mereka memproteksi anak. Ada Eddi Brokoli dan Ny. Indra Birowo alias Noella ‘Ui’
Birowo yang juga pendiri TigaGenerasi.
Apakah kalian tipe orang tua overprotective?
“Saya sih enggak. Bisa di kira-kira kalau anak posisinya
aman atau berbahaya. Biar saja dia belajar jatuh. Yang parno itu ibunya.
Dubrak, anak jatuh! Ibunya histeris. Anaknya mah nggak apa-apa, tapi nangis karena
kaget dengar suara teriakan ibunya,” cerita Eddi Brokoli yang sudah tidak
terlalu brokoli lagi.
Coba ngacung, siapa yang tipe kaya gitu?
“Saya sih parno-an,” aku Ui. “Ketika anak belajar merangkak,
seluruh rumah diberi pengaman matras agar anak tidak terbentur. Baru berani
dilepas ketika anak sudah benar-benar bisa jalan. Saya parno-an, tapi suami
saya lebih parno-an lagi.”
Mari kita bayangkan rumah yang diisi oleh sepasang orang tua
parno dan lebih parno lagi. Paranoid kuadrat.
Bagaimana kalian memberikan Punishment dan Reward untuk
anak?
“Mungkin bukan punishment, tapi lebih tepat mamatahan kata
orang sunda – nasehatin,” kata Eddi Brokoli.
Untuk reward, Eddi sempat cerita pengalamannya menawarkan
hadiah smartphone untuk anaknya jika berhasil masuk ke SMP impian. “Niatnya mau
saya kasih I-phone, tapi anaknya pengen android biasa. Ya syukur,” ceritanya.
![]() |
Parent sharing |
Buat Eddi, anak boleh saja pegang gadget, selama dibatasi waktunya. Misalnya boleh
main PS saat weekend atau tidak boleh terus menerus dalam waktu lebih dari 2
jam. Menurutnya, jangan juga anti gadget, “Kasihan nanti minder sama
teman-temannya. Selama masih mau diawasi itu boleh. Tapi kalau ingin privacy
lebih, nanti saja kalau sudah keluar dari rumah orang tua,” lanjutnya.
Sementara Ui, lebih kaku soal penggunaan gadget untuk anak
dibawah usia 6 tahun. “Nanti ada aja deh aneh-aneh muncul. Entah matanya
kedip-kedip lah, kakinya goyang-goyang lah, kalau mereka terlalu lama main
gadget.” Karena itu Ui hanya membatasi penggunaan gadget 25 menit sehari.
Selain sharing dengan orang tua sempat juga ada bermain
peran untuk kasus yang biasa terjadi pada keluarga. Seperti kasus anak yang
recok ingin bantu mamanya masak dan orang tua yang memergoki anak kelas 4
SD-nya membuka gambar porno.
Kita harus gimana dong?
Untuk kasus anak yang recok kita bisa mengalihkan perhatian
si kecil. Beri mereka aktivitas lain. Para orang tua harus sediakan waktu untuk
kreatif mencari kegiatan-kegiatan seru buat anaknya. Mbak Nina sempat cerita
bagaiman ia mengajarkan pengasuh anaknya sejumlah kegiatan yang bisa dilakukan
dengan si anak. Tidak harus beli mainan edukasi mahal, barang bekas pun bisa
dipakai. Banyak kok beredar di sosmed mengenai alternatif permainan buat
anak-anak.
Sedangkan untuk kasus gambar porno, sikap pertama adalah
harus tenang dan jangan memperlihatkan kepanikan di depan anak.
“Tadi lihat gambar apa?”
“Tadi kamu klik apa?”
“Bagus nggak gambar itu?”
Papa Eddi bingung ngadepin anaknya |
Coba sini papa lihat dulu. Loh!!! Salah-salah, itu sih komentar
pemeran si Papa.
“Bagaimana perasaan kamu lihat gambar itu?”
Tuntun anak untuk bisa menyimpulkan bahwa tidak baik melihat
gambar seperti itu dengan menggali lebih banyak informasi. Usahakan anak bisa
menarik kesimpulan sendiri. Anak usia SD biasanya sudah bisa diajak diskusi.
Nasehat bisa diberikan dalam bentuk pertanyaan.
“Jadi menurut kamu bagaimana?”
“Efeknya bagaimana?”
Demikian juga jika menghadapi kasus harus menjelaskan pada
anak menghadapi mimpi basah. Jangan malah bengong dan nggak tau mau ngomong
apa. Malah nanya lagi, “Jadi kamu mimpi basahnya sama siapa?” Halah. Kacau.
Untuk mimpi basah bisa mulai dijelaskan bahwa itu adalah hal
yang wajar. Ajarkan anak untuk membersihkan diri. Terangkan pada anak apa yang
ingin mereka ketahui. Daripada mereka nanya ke orang lain kan?

Jadi ya, Bib-bip
watch itu adalah jam tangan anak yang bisa melacak keberadaan mereka. Cukup
dengan apps di HP, kita tahu dimana anak kita berada. Bukan cuma itu, dengan
jam ini anak kita bisa telpon-telponnan dengan kita. Jadi anak nggak perlu
dibekali HP segala. Cukup jam tangan saja. Canggihnya yang lain adalah kita
bisa atur safe zone anak. Misalnya safe zone adalah lingkungan sekolah. Akan ada
notifikasi jika anak sudah masuk atau keluar safe zone. Bahkan jika anak
melepaskan Bip-bip watch-nya juga bisa ketahuan.
Apa ada yang kepikiran beli ini untuk pasangan? Ssstttttt
percaya nggak, ternyata kata Irwan Cahaya pemilik Bip-bip Watch sudah banyak
permintaan loh buat dewasa.
Kalau Bip-bip buat anak, nah T-Drive buat mobil kita
tercinta. Kita jadi tahu tu kemana mobil kita dibawa supir atau anak remaja
kita. Canggihnya, T Drive ini bukan cuma untuk tahu posisi mobil, tapi juga
bisa untuk cek kesehatan mesin, pemakaian oli, pemakaian bensin, catatan proses
pengereman, supir kita nih pakai mobil dengan kasar atau halus. Semua terekam
dengan rapi dan bisa cukup kita pantau dengan apps di HP.
Sebelum pulang ada 3 orang yang beruntung mendapat Bip-bip
watch dan 1 orang mendapat T-Drive karena menjawab pertanyaan dan upload foto
di Instagram. Wow! Saya mah cukup happy dapat goody bag Power Bank 4800 mAh dan tas lipat dari T-Drive.
Buat para panitia, terima kasih ya acaranya. It’s awesome! #Konsumenpuas.
![]() |
Alhamdulillah ke poto juga. |
(2300 kata sajah)
Wah saya pgn bgt ikutan, cmn klo ikutan ga ada yg jmpt anak di skolah, huhu...
BalasHapusMakasih ya udah sharing isi acaranya :)
Pgn ih jamnya...
Minimal dapat icip-icip sedikit oleh-olehnya ya Nathalia.
Hapusmba shanty luar biasa.. semangat berbaginya juga tinggi.. nuhun tulisannya ^_^
BalasHapusMakasih Shona. Kemarin nggak sempat ikutan ya?
HapusMba Shanty, makasi banyak ya ulasannya, aku & teman2 dari TigaGenerasi senang sekali workshopnya bermanfaat dan bahkan dituangkan dalam tulisan jd bs bermanfaat buat org banyak.
BalasHapus. Putu.
Sama-sama Mbak Putu. TigaGenerasi sering-sering bikin acara seru murah meriah di Bandung ya. Biar emak-emak di Bandung ini meningkat tingkat kebahagiaannya. Ha...ha....
HapusMBa Shanty, saya dapat link artikel blog mba dari atasan saya, dia bilang artikelnya cukup panjang dan bacanya pulang kantor saja hahahaha, saya bersyukur bisa dapat ilmu dari tulisan mba, meski ga pernah ikutan seminar seperti ini tapi baca blog mba serasa ikutin seminarnya. Terimakasih Mba Shanty :)
BalasHapusSalam kenal.