“Anak saya trauma matematika,” adalah kalimat yang jamak kita
dengar dari para orang tua. Dalam diskusi selama 2 jam bersama Teh Dita
Wulandari, pernyataan itu mendapatkan alternatif solusinya. Benar-benar sebuah sharing
bergizi dari ibu yang rela meninggalkan statusnya menjadi dosen tetap sebuah
PTS selama 13 tahun demi meng-homeschooling-kan 3 putra putrinya.
Ada 2 hal yang perlu diperhatikan mengenai cara kita
belajar. Pertama, bagaimana kita
menyerap informasi dengan mudah (modalitas)
dan kedua, bagaimana cara kita mengatur
dan mengolah informasi tersebut (dominasi
otak).
Gaya belajar seseorang adalah kombinasi dari bagaimana ia menyerap,
dan kemudian mengatur serta mengolah informasi.
Dari ‘buku wajib baca’ Quantum Learning - Membiasakan
belajar nyaman dan menyenangkan, Bobbi DePorter dan Mike Hernacki (Kaifa, 1999),
kita mengenal 3 cara dalam menyerap informasi (Modalitas belajar):
1. Visual, dengan ciri-ciri:
- rapi dan teratur
- berbicara dengan cepat
- perencana dan pengatur jangka panjang yang baik
- teliti terhadap detail
- mementingkan penampilan, baik dalam hal pakaian maupun presentasi
- pengeja yang baik dan dapat melihat kata-kata yang sebenarnya dalam pikiran mereka
- mengingat apa yang dilihat, daripada yang di dengar
- mengingat dengan asosiasi visual
- biasa tidak terganggu oleh keributan
- mempunyai masalah untuk mengingat instruksi verbal kecuali jika ditulis, dan sering kali minta bantuan orang untuk mengulanginya
- pembaca cepat dan tekun
- lebih suka membaca daripada dibacakan
- membutuhkan pandangan dan tujuan yang menyeluruh dan bersifat waspada sebelum secara mental merasa pasti tentang suatu masalah atau proyek
- mencoret-coret tanpa arti selama berbicara di telepon dan dalam rapat
- lupa menyampaikan pesan verbal kepada orang lain
- sering menjawab pertanyaan dengan jawaban singkat ya atau tidak
- lebih suka melakukan demonstrasi daripada berpidato
- lebih suka seni daripada musik
- sering kali mengetahui apa yang harus dikatakan, tetapi tidak pandai memilih kata-kata
- kadang-kadang kehilangan konsentrasi ketika mereka ingin memperhatikan
2. Auditorial, dengan ciri-ciri:
- berbicara kepada diri sendiri saat bekerja
- mudah terganggu oleh keributan
- menggerakkan bibir mereka dan mengucapkan tulisan di buku ketika membaca
- senang membaca dengan keras dan mendengarkan
- dapat mengulangi kembali dan menirukan nada, birama dan warna suara
- merasa kesulitan untuk menulis, tetapi hebat dalam bercerita
- berbicara dalam irama yang terpola
- biasanya pembicara yang fasih
- lebih suka musik daripada seni
- belajar dengan mendengarkan dan mengingat apa yang didiskusikan daripada yang dilihat
- suka berbicara, suka berdiskusi, dan menjelaskan sesuatu panjang lebar
- mempunyai masalah dengan pekerjaan-pekerjaan yang melibatkan visualisasi, seperti memotong bagian-bagian hingga sesuai satu sama lain
- lebih pandai mengeja dengan keras daripada menuliskannya
- lebih suka gurauan lisan daripada membaca komik
3. Kinestetik, dengan ciri:
- berbicara dengan perlahan
- menanggapi perhatian fisik
- menyentuh orang untuk mendapatkan perhatian mereka
- berdiri dekat ketika berbicara dengan orang
- selalu berorientasi pada fisik dan banyak bergerak
- mempunyai perkembangan awal otot-otot yang besar
- belajar melalui memanipulasi dan praktik
- menghafal dengan cara berjalan dan melihat
- menggunakan jari sebagai penunjuk ketika membaca
- banyak menggunakan isyarat tubuh
- tidak dapat duduk diam untuk waktu yang lama
- tidak dapat mengingat geografi, kecuali jika mereka memang telah pernah berada di tempat itu
- menggunakan kata-kata yang mengandung aksi
- menyukai buku-buku yang berorientasi pada plot – mereka mencerminkan aksi dengan gerakan tubuh saat membaca
- kemungkinan tulisannya jelek
- ingin melakukan segala sesuatu
- menyukai permainan yang menyibukkan
Tidak setiap orang harus masuk ke dalam salah satu
modalitas di atas. Setiap orang pada dasarnya
memiliki 3 modalitas ini, namun dominan pada salah satunya.
Selanjutnya kita memiliki 2 kemungkinan bagaimana mengatur
informasi tersebut (Dominasi otak):
- persepsi konkret dan abstrak
- kemampuan pengaturan secara sekuensial/linear (dominasi otak kiri) dan acak/nonlinear (dominasi otak kanan)
Paduan keduanya memungkinkan 4 kombinasi gaya berpikir dan
kiat pembelajaran yang sesuai:
- Sekuensial Konkret: atur rencana kegiatan secara realistik, mengetahui semua detail yang diperlukan, pecah tugas menjadi beberapa tahap, atur lingkungan yang sesuai dan menghilangkan pengganggu konsentrasi.
- Sekuensial Abstrak: berlatih mengubah masalah menjadi situasi teoritis, memperbanyak rujukan, mengupayakan keteraturan, menganalisis orang-orang yang berhubungan.
- Acak Konkret: ciptakan ide-ide alternatif dengan memelihara sikap selalu bertanya, siapkan diri untuk memecahkan masalah, periksa waktu, terima kebutuhan untuk berubah, carilah dukungan dari orang lain.
- Acak Abstrak: menggunakan kemampuan alamiah untuk bekerja dengan orang lain, emosi mempengaruhi konsentrasi, memanfaatkan asosiasi visual dan verbal, melihat gambaran besar, mencermati penggunaan waktu, menggunakan isyarat visual.
Cara menyerap informasi Visual – Auditory – Kinestetik bisa
berubah seiring usia. Dibawah usia 7 tahun yang dominan bisa saja kinestetik
dan auditory, namun selanjutnya yang berkembang adalah visualnya. Untuk itu
penting untuk selalu menyampaikan informasi secara seimbang dengan menggunakan
visual (gambar atau tulisan), Auditory (ceramah dan lisan) dan Kinestetik
(praktek, presentasi). Sehingga anak menjadi terlatih untuk belajar dalam
berbagai kondisi.
Coba ingat-ingat kapan kita merasa belajar paling efektif?
Ada anak yang prestasi belajarnya bagus saat sekolah menengah karena saat itu
banyak menyerap informasi dalam bentuk tertulis. Ketika kuliah yang lebih
banyak auditory dalam kelas yang besar, mereka kebingungan dan akibatnya
prestasinya menurun. Atau bisa juga sebaliknya.
Sebagai pengajar, Teh Dita terbiasa untuk menggunakan 3
modalitas dasar dalam belajar. Baik saat menghadapi anak-anak maupun
mahasiswanya. Dimulai dengan ceramah, kemudian bagan dan slide, dan yang
terakhir sambil bergerak dan menyentuh.
Anak-anak itu sebenarnya bukan tidak suka berhitung, tapi
mereka takut matematika. Pelabelan pelajaran seperti Matematika, Fisika,
Science sering bikin mimpi buruk pada anak. Ketika disebut kata pecahan,
anak-anak bisa langsung mual dengarnya. Anak bisa memahami konsep anak panah
melesat dari busurnya. Tapi ketika diberikan rumus F = M x A (Gaya adalah Massa
di kali Percepatan) mereka langsung bingung.
Ketua Institut Ibu Profesional Bandung pertama ini juga bercerita
mengenai pengalamannya mengajar matematika ke anak-anaknya. Bisa dengan
menggunakan lego untuk mengajarkan pecahan. Atau memberikan resep kue untuk
praktekkan. “Ini ada resep kue, sekarang kita mau buat 1/3 resep. Coba
disiapkan bahan-bahannya.” Tanpa sadar, si anak sudah belajar mengenai pecahan.
Atau untuk anak-anak yang suka kuliner, bisa diajak mengatur
keuangan. Berapa uang jajan yang dipakai, berapa pengeluaran, berapa sisa uang,
dan lain-lain. Anak menjadi belajar matematika dengan perut kenyang dan hati
senang.
Teh Insania juga menambahkan dengan menceritakan pengalaman
anaknya yang sempat trauma matematika. Salah satu hobinya adalah percobaan
science. Dalam percobaan itu biasanya ada takaran ukuran yang harus dihitung. Otomatis
anak jadi belajar berhitung. Kini si anak sudah berhasil mengatasi masalahnya
dengan matematika dan memiliki prestasi di bidang itu. Anaknya sendiri akhirnya
bangga dengan kemampuan yang kini tidak takut lagi pada matematika.
Salah satu cara unik dalam mengajarkan membaca adalah dengan
menyanyikan lagu balonku dengan menggunakan vokal tertentu.
“Balanka ada lama, rapa-rapa warnanya, ....” kemudian
diganti dengan i, u, e, o. Biasanya anak-anak senang dan mereka secara tidak
langsung cepat untuk belajar membaca.
Mind map yang diperkenalkan Tony Buzan sebagai cara merekam
informasi juga merupakan cara belajar yang efektif.
Cone of Learning
Edgar Dale, seorang pendidik dari Amerika melakukan sebuah
penelitian mengenai kemampuan daya ingat seseorang setelah mempelajari sesuatu.
Diperlihatkan bahwa dalam 2 minggu, kita hanya mampu
mengingat 10% dari apa yang kita baca. Jika kita mendengar, kemampuan daya
ingat kita meningkat menjadi 20%. Melihat demo akan meningkatkan kemampuan daya
ingat hingga 50%. Ini semua termasuk dalam cara belajar pasif.
Cara belajar aktif seperti berpartisipasi dalam diskusi,
presentasi, dan simulasi nyata ternyata mampu meningkatkan daya ingat hingga
90%. Dari sinilah kemudian berkembang konsep ‘learning by doing’ atau ‘experential
learning.’
Itu sebabnya mengapa orang kinestetik sering lebih unggul
karena mereka terbiasa untuk melakukannya sendiri secara aktif. Berbeda dengan
orang-orang yang hanya mengandalkan visual dan auditory yang cenderung pasif.
Kompetisi
Ada anak yang tidak suka berkompetisi. Bukan sekedar karena
takut kalah, tapi karena mereka tidak merasa memiliki target apapun untuk
dicapai. Mereka bukan tipe anak yang suka menarik perhatian. Bagaimana
menyikapinya?
Buatkan target atau ajak anak pasang target mereka sendiri.
Bisa dengan mengumpulkan berapa banyak teman baru yang diajak kenalan dalam
event tertentu. Beri anak target berbeda sehingga semua bisa jadi pemenang. Ini
juga cocok untuk kakak adik yang biasa bersaing. Jadi kita bisa mengatasi
masalah ‘kok kakak dapat, kok saya nggak.”
Anak kinestetik itu kalau tidak bisa bergerak atau tidak ada
yang dikerjakan, mereka memilih tidur. Jadi jangan heran, kalau anak tipe ini
tiap naik mobil atau potong rambut selalu tertidur. Fasilitasi keinginan mereka
untuk selalu bergerak. Ada anak yang perlu cetak-cetek polpen atau permen karet
ketika menyerap informasi. Tanpa itu mereka akan blank. Merajut bisa menjadi salah
satu solusinya. Daripada diam, kan lumayan ada hasilnya.
Ajak anak untuk belajar menjelaskan kembali apa yang mereka
pelajari. Teh Dita mewajibkan anak-anaknya untuk presentasi setidaknya 1
pelajaran setiap minggu.
Tidak ada jalan lain untuk mengatasi masalah belajar anak
selain mendampingi dan mengamati. Mencoba dan mengulang-ulang terus dengan
sabar. Akan tiba saatnya anak akan menemukan cara belajar yang paling sesuai
dengan mereka.
Gaya belajar
Dengan mengenali dan memahami gaya belajar yang paling
sesuai, kita dapat meningkatkan kualitas dan kecepatan belajar. Berikut 8 tipe
gaya belajar:
- Visual (suka menggunakan gambar dan diagram)
- Auditory/Musical (suka mendengarkan nada)
- Verbal (suka menggunakan kata-kata dengan bicara dan menulis)
- Kinestetik (suka menggunakan tangan, badan dan sentuhan)
- Logical (suka belajar dengan logika, alasan, sistem dan urutan)
- Social (harus belajar bersama orang lain dan kelompok)
- Solitary (suka belajar sendiri)
- Combination (kombinasi 2 atau lebih tipe belajar)
Kalau dipikir-pikir, proses menulis di blog ini juga
merupakan cara saya belajar. Kalau tidak ditulis, bubar semua apa yang
disampaikan. Menulis ini juga sepertinya cocok untuk orang dengan daya ingat
terbatas. Jadi kalau lupa, tinggal baca lagi.
Ketika masa sekolah dasar dan menengah, saya punya hobi
ganti buku tulis. Sering banget saya menyalin catatan di buku baru. Seingat
saya dulu alasannya karena tidak suka buku tulis yang lecek. Jadi dalam satu
tahun ajaran, saya ganti buku tulis bisa 4-6x. Waktunya habis untuk menyalin
catatan ke buku baru. Bahkan di masa SMA saya punya buku tulis khusus yang
merangkum seluruh materi. Kalau sekarang buku seperti itu bisa dibeli di toko
buku dengan harga murah, dulu saya membuat sendiri buku seperti itu dengan
tulisan tangan. Hasilnya ya lumayan lah. ITB aja mah tembus.
Nah masalah timbul ketika kuliah, menulis rasanya minim
sekali karena habis waktu dengan tugas yang bertubi-tubi. Catatan bahkan tidak
dilakukan karena mengandalkan fotokopi catatan teman yang lebih rapi. Jadi ketika
modalitas belajar berganti, akibatnya memang fatal. IPK sekarat.
Pengalaman Teh Dita ternyata kebalikannya. Masa-masa sekolah
yang menengah yang selalu dikelilingi teman-teman, membuatnya tidak optimal
dalam belajar. Ketika kuliah, modalitas belajar berganti dengan tipe kelas
besar dan lebih individual. Datang kuliah duduk di depan dan berhadapan
langsung dengan dosen. Setelah itu langsung pulang dan mengulang pelajaran.
Hasilnya sangat optimal. Kita tidak perlu tanya berapa IPK teh Dita masa kuliah
ini. Diterima sebagai dosen tetap di Teknik Sipil Itenas bisa membuktikan efektivitas
gaya belajar Teh Dita semasa kuliah.
Perbedaan gaya belajar kita dengan anak juga mempengaruhi
tingkat kesabaran kita dalam menyampaikan informasi. Ini sangat mungkin yang
menjadi penyebab permasalahan belajar di sekolah. Guru tipe belajarnya berbeda
dengan tipe belajar anak. Orang tua berbeda tipe belajarnya dengan anak. Bahkan
setiap anak dalam sebuah keluarga memiliki tipe belajar yang berbeda.
Jadi ingin menambahkan sedikit yang tidak sempat dibahas
dalam diskusi kemarin. Diluar masalah gaya belajar, salah satu yang penting dalam
proses belajar adalah pertanyaan Mengapa kita perlu mempelajari sesuatu? Apa
manfaatnya bagi kita?
Tanpa tahu alasan kita perlu mempelajari sesuatu, otak
biasanya susah sekali untuk menerima sebuah informasi. Berbeda jika kita tahu
apa yang kita perlu ketahui. Misalnya sebelum saya menghadiri acara diskusi
parenting ini, saya memang benar-benar ingin tahu mengenai gaya belajar.
Keinginan untuk mempelajari sesuatu ini yang perlu
dibangkitkan pada anak-anak. Raka, anak saya yang berusia 8 tahun, hanya mau
belajar yang dia mau tahu. Ketika ia ingin bisa melipat, dia akan asyik
menghabiskan sebungkus kertas origami dan berusaha mati-matian menyelesaikan
petunjuk dari buku. Ketika sempat putus asa karena tidak berhasil menyelesaikan
suatu petunjuk, dia minta bantuan saya. Kalau menurut saya petunjuknya memang salah,
dan memintanya coba yang lain saja. Tapi karena semangat belajar, dia terus
berusaha memecahkan masalah itu. Akhirnya dia menemukan satu langkah yang
memang terlewat dan merampungkan bentuk origami itu. Hal ini juga berlaku pada
sejumlah pelajaran sekolah.
Pinter-pinternya orang tua untuk membangkitkan rasa ingin
tahu anak. Berbahagialah punya anak yang selalu punya rasa ingin tahu yang
tinggi.
Jadi sebenarnya tidak ada istilah anak bodoh. Yang ada adalah anak yang belum menemukan gaya belajarnya. Anak pintar adalah anak yang sudah menemukan gaya belajar yang paling sesuai dengan mereka.
Seperti kata teh Dita, kita cukup mendampingi dan mengamati. Semoga anak-anak kita menemukan gaya belajar mereka sendiri.
Jadi sebenarnya tidak ada istilah anak bodoh. Yang ada adalah anak yang belum menemukan gaya belajarnya. Anak pintar adalah anak yang sudah menemukan gaya belajar yang paling sesuai dengan mereka.
Seperti kata teh Dita, kita cukup mendampingi dan mengamati. Semoga anak-anak kita menemukan gaya belajar mereka sendiri.
Foto yang ada Shinta-nya |
Foto yang ada Shanty-nya |
(2000-an kata saja)
Waaaahhh...haturnuhun teh Shanty.
BalasHapusProject ku ko gak beres-beres yaa...jd pengen nongkrongin teh Shan saat nulis.
Ko bs lancaar, runut dan sistematik giniih siih....
Kalau ditongrongin Lendy, dijamin nggak beres-beres. Pasti kita asyik ngobrol. Ha...ha...
HapusAwalnya ya kacau juga Len, berantakan dan nggak runtut. Sudahlah, yang penting nulis aja dulu. Nanti juga lama-lama bisa. Kalau nunggu bisa runtut dulu, dijamin nggak akan sampai-sampai.
Tulisannya keren banget....pengen bisa nulis begini. Nanti gantian ya teh Shan, aq ikut workshop menulis
BalasHapus