Tidak terasa 1 tahun lebih sudah berlalu sejak pertemuan
pertama saya dengan Pak Harry Santosa. Dalam sebuah Seminar Home Education pada
13 September 2014 di SD Darul Hikam, Pak Harry Santosa dan Ibu Septi Peni
Wulandani membuka mata saya mengenai konsep Pendidikan berbasis Potensi dan
Akhlak bersama Keluarga dan Komunitas.
Jika diingat kembali, pertemuan itu bisa
dibilang sangat bersejarah. Karena dari pertemuan itu saya mulai mengenal komunitas
Institut Ibu Profesional, Homeschooler Bandung, dan ITBMotherhood. Ternyata
banyak juga orang tua yang haus ilmu untuk mendidik putra-putri mereka di
Bandung Raya ini.
Setahun lebih kemudian, tepatnya Minggu, 29 November 2015,
Pak Harry Santosa kembali dengan mempersembahkan sebuah pemikiran yang telah
dibukukan dengan rapi berjudul Fitrah based Education, sebuah Model Pendidikan
Peradaban – Bagi Generasi Peradaban – Menuju Peran Peradaban, Mengembalikan
pendidikan sejati selaras fitrah, misi hidup dan tujuan hidup. Singkat kata,
itu adalah buku kategori ‘wajib baca’ bagi para orang tua Indonesia.
Dalam Kuliah Umum Melahirkan Generasi Emas Melalui Pendidikan
Peradaban berbasis Fitrah di Aula Bapusibda, Pak Harry Santosa membagikan
gratis e-book 67 halaman untuk memberikan kita gambaran lengkap mengenai isi
buku tersebut.
Jika dalam materi pertama dari
Bang Adriano Rusfi mengenai konsep Home Education, pada materi kedua ini Pak
Harry Santoso memberikan Framework yang bisa segera kita aplikasikan untuk
menghasilkan generasi yang aqilbaligh pada usia 15-17 tahun.
Pendiri Millenial Learning Center
ini membuka diskusi dengan mengingatkan bahwa Home Education tidak identik
dengan Home Schooling. Home Schooling itu adalah pilihan, sedangkan Home
Education hukumnya wajib. Home Education bukan memindahkan sekolah ke rumah,
tapi mendidik anak sesuai dengan fitrahnya. “Saya tidak mengajarkan apa-apa,
hanya sekedar membangkitkan fitrahnya.”
Fitrah pendidikan hanya bisa dibagikan oleh orang-orang tidak saja tulus dan ikhlas, namun juga punya ikatan batin.
Beberapa gambar ditayangkan memperlihatkan bagaimana anak-anak berseragam SD berakrobat melalui jembatan gantung menuju sekolah. Sementara dalam gambar yang lain, bagaimana suku terbelakang di Sumatera yang tidak bersekolah, mampu membangun sebuah jembatan untuk memudahkan hidup mereka. Disini kita jadi bertanya-tanya, sekolah itu membangun peradaban atau malah merusaknya. Sekolah tidak mendidik, tapi sekedar memberi pengajaran.
Bisakah sekolah menyelesaikan
krisis yang terjadi pada masyarakat saat ini seperti krisis alam (sampah,
ekploitasi alam, deforestasi, penambangan, pencemaran) dan krisis manusia
(depresi, kompetisi, kemiskinan, pengangguran, bunuh diri)?
Bapak 7 anak ini kemudian bercerita
mengenai pengalamannya bekerja di Tanjung Priuk selama 8 tahun pergi ke kantor
saat anak belum bangun, dan pulang saat anak sudah tidur. Sebagai penganut
setia Metode Glenn Doman, beliau sempat sangat bangga ketika anaknya sudah bisa
baca pada usia 2 tahun.
“Namun apa yang terjadi? Saya lupa
mendidik hatinya. Dia menjadi anak cerdas tapi dengan emosi yang tidak stabil.
Walhasil sempat di cap sebagai anak paling nakal satu sekolah.”
Sebagai anak baru di sebuah TK,
saat teman-temannya berjamaah menangis karena ditinggal para orang tua di dalam
kelas, anak Pak Harry tidak menangis. Ia malah mendatangi kaca dan
memecahkannya. Ketika ditanya alasannya, si anak menjawab santai kalau ia ingin
membantu teman-temannya keluar dari kelas dan menemui orang tua mereka.
Alhasil, sukseslah si anak ditolak untuk bersekolah dengan ucapan, “Anak Bapak
memang cerdas, tapi emosinya jongkok. Bandel banget.” Orang tua mana yang tidak
sakit hati dibegitukan.
Barulah setelah itu lulusan Universitas Indonesia kelahiran tahun 1969 ini menemukan sekolah alam untuk anaknya. Saat itu sekolah alam berbasis komunitas, dimana orang tua cukup
banyak dilibatkan dalam proses pendidikan. Di sekolah itu energi anak dikuras
habis untuk kegiatan outdoor yang mereka sukai. Sebuah sekolah yang sangat
cocok untuk si anak.
Di sekolah alam ini Pak Harry
banyak bertemu teman yang mencerahkan dan mulai menyadari kesalahannya dalam
mendidik anak. Ternyata mendidik anak itu bukan dengan dijejal macam-macam ilmu
ke kepalanya, tapi dibangkitkan fitrahnya. Mendidik anak itu bukan dengan
outside in (dari luar ke dalam) tapi dengan inside out (dari dalam keluar). Dibangkitkan
gairah belajarnya.
Jika gairah belajarnya bangkit, ia akan belajar seumur
hidup. Jika gairah keimanannya bangkit, ia akan beriman seumur hidupnya.
Ketika
gairah belajar tidak bangkit, akan tiba saatnya mereka berhenti belajar. Anak menjadi alergi mendengar istilah belajar. Sekolah menjadi tempat untuk sekedar menunggu
bel istirahat dan pulang saja. Di Indonesia, anak-anak cenderung dididik pintar
menjawab tapi tidak pandai bertanya. Sekarang ini anak-anak hanya belajar
karena PR atau Ujian saja, bukan karena memang fitrahnya mereka butuh belajar.
Kita mengenal IPB atau Institut
Pertanian Bogor lebih sering diplesetkan menjadi Institut Pleksibel Banget atau
Institut Perbankan Bogor karena banyaknya lulusannya yang bekerja di bidang
perbankan atau sales asuransi dan bukannya pertanian. Ada yang salah dengan
sistem pendidikan kita.
Fitrah Manusia
Setiap bayi lahir membawa
fitrahnya masing-masing. Tidak perlu banyak teori, ikuti saja fitrahnya. Ada Fitrah
Keimanan, Fitrah Belajar, Fitrah Bakat, Fitrah perkembangan, Fitrah Gender, dan
lain-lain.
Fitrah
Keimanan meliputi spiritualitas, moralitas dan religiusitas.
Setiap anak dilahirkan untuk mencintai Tuhannya yang selanjutnya akan membentuk
karakternya (akhlakul karimah). Pada usia dibawah 7 tahun, fitrah ini sangat
mudah dibangkitkan dengan imajinasi dan abstraksi tentang Allah, Rasul,
kebaikan dan segala ciptaan-Nya.
Sebuah penelitian tahun 1975 dilakukan
oleh Dr. Edward Tronick untuk membuktikan bahwa bayi membawa fitrah keimanan
ini. Melalui Still Face Experiment diperlihatkan bahwa bayi dapat menunjukkan
reaksi yang berbeda pada wajah baik dan wajah buruk dari orang tuanya. Tanpa
diajarkan secara fitrah mereka bisa memberikan respon yang berbeda terhadap dua
hal itu.
Dalam bukunya Just babies, the Origins
of Good and Evil, psikolog Paul Bloom juga membuktikan bagaimana bayi – bahkan yang
usianya sekitar 3 bulan, bisa lebih memilih boneka yang baik daripada boneka
yang nakal setelah diperlihatkan sebuah drama pendek.
Fitrah
belajar adalah keinginan untuk mempelajari sesuatu secara alami, tidak
perlu diajarkan secara khusus.
Dalam bukunya Origins, Annie
Murphy Paul membuktikan bahwa bayi selama 9 bulan dalam kandungan telah mampu
menyerap apa yang terjadi diluar tubuh ibunya.
Dalam sebuah penelitian tahun 1999
di kawasan kumuh di India, dilakukan eksperimen dengan meletakkan sebuah
komputer di tempat umum yang memungkinkan di sentuh anak-anak. Walau tanpa diajarkan,
ternyata anak-anak itu mampu mengoperasikan komputer. Bahkan jika komputer itu
menggunakan bahasa asing.
Fitrah
Bakat meliputi Talent, Passion & Strength. Setiap anak adalah unik
dan memiliki sifat bawaan masing-masing yang kemudian akan berkembang menjadi
karakternya. Dengan karakternya, akan berkembang bakat yang akan menjadi misi
hidup yang spesifik untuk bisa berperan dalam peradaban.
Masa-masa keemasan untuk
mengembangkan fitrah bakat ini adalah usia 10-14 tahun.
Framework Operasional Pendidikan Berbasis Fitrah & Akhlaq
Masa
Pralatih usia 0-7 tahun
Penekanan pada permainan
imajinasi, banyak menstimulasi sensorik dan motorik anak. Hingga usia 7 tahun anak
belum memiliki tanggungjawab moral. Peran orang tua cukup sebagai fasilitator yang
mengawasi dan mendokumentasikan anaknya bermain bebas dan spontan. Jadi jangan
pusing dan terpenjara dengan jadwal kaku hari ini harus main apa, besok main
apa.
Fitrah keimanan: Membangkitkan
kesadaran Allah sebagai Robb dengan keteladanan, kisah inspiratif dan
kepahlawanan, membangkitkan imaji positif terhadap Diri, Allah, Ibadah, Agama.
Fitrah Belajar: Membangkitkan
logika dasar dan nalar melalui bahasa ibu sehingga sempurna ekspresinya,
belajar bersama alam, belajar bersama kehidupan, imaji positif tentang alam,
kehidupan dan belajar, belajar dari mencoba.
Fitrah Bakat: Membangkitkan
kesadaran bakat melalui aktifitas dan wawasan, dan mendokumentasikan aktifitas
anak.
Masa
Pra Aqilbaligh I usia 7-10 tahun
Penekanan pada belajar tentang
sistem simbol, aturan dan kebiasaan yang berlaku di masyarakat. Orang tua
mengambil peran sebagai pembimbing sehingga anak dapat aktif belajar dari
bereksplorasi.
Fitrah Keimanan: Membangkitkan
kesadaran Allah sebagai Malik dengan keteladanan, mengenal nilai dan mengenal
perintah dan larangan seperti sholat.
Fitrah Belajar: Membangkitkan
gairah belajar dengan bahasa ibu hingga sempurna maknanya, belajar dari alam
dan masyarakat, belajar bersama kehidupan, mendapatkan ide dari riset dan
nalar, mulai melakukan proyek-proyek untuk mempelajari sesuatu.
Fitrah Bakat: Membangkitkan
kesadaran bakat melalui beragam aktifitas dan gagasan dengan mengenal
diri/pemetaan bakat, perencanaan portfolio, tour the talent (mengenalkan
beragam profesi), dan mendokumentasi kegiatan.
Masa
Pra Aqilbalig II usia 10-14 tahun
Penekanan pada pendidikan afektif,
Emotional Intelligent, bekerja dalam grup kecil. Orang tua mengambil peran
sebagai pelatih dan mentor, sedangkan anak sebagai pemagang.
Berdasarkan pengalaman beliau sebagai konsultan sepakbola Pertamina (Pertamina Soccer School 2011-2012) menurut peraturan FIFA anak-anak
usia dibawah 10 tahun belum boleh diajar teknis.
Fitrah Keimanan: Membangkitkan
kesadaran Allah sebagai Illah dengan keteladanan, konsisten dan ridho pada
setiap perintah dan larangan, pendamping akhlak.
Fitrah Belajar: Mewujudkan
kompetensi belajar dan inovator, mempelajari bahasa ibu ke-2, menguasai sastra
bahasa ibu, belajar untuk alam dan masyarakat, mengembangkan riset dan nalar,
melakukan proyek-proyek untuk mempelajari sesuatu.
Fitrah Bakat: Mewujudkan gagasan
dan kompetensi melalui bakat dengan cara magang kepada para ahli dan membuka
jaringan.
Masa
Post Aqilbalig usia >14 tahun
Penekanan pada persiapan karir dan
perkembangannya. Anak mulai siap untuk mengambil peran orang dewasa dan
bertanggungjawab untuk dirinya sendiri. Hubungan anak dan orang tua adalah
partner.
Fitrah Keimanan: Pribadi berakhlak
mulia, tunduk dan taat
Fitrah Belajar: Pribadi yang
inovatif
Fitrah Bakat: Pribadi yang
berkarya atas bakat (talentpreneur/imama)
Cara terbaik untuk belajar adalah
dengan magang. Cara magang restoran padang. Tahap paling bawah dengan cuci
piring. Selanjutnya boleh membawa minuman untuk pelanggan. Kemudian membawa
makanan ke rak. Tingkat empat mulai bisa membawa makanan dengan piring yang
tersusun ke pelanggan. Baru terakhir belajar memasak.
Buku Orang tua
Setiap orang tua seyogyanya memiliki buku orang tua yang merekam
perjalanan proses pendidikan anaknya. Satu anak satu kurikulum. Jangan seperti
Diknas yang menyeragamkan 1 kurikulum untuk 56 juta anak. Panduan singkat
pembuat buku orang tua dapat dilihat di e-book Harry Santosa yang dapat di
download di Facebook Group Institut Ibu Profesional Bandung.
Buku aslinya setebal 400 halaman terdiri
dari 5 Bab Pokok:
- Landscape Peradaban: Peran Pendidikan dalam Lansekap Peradaban
- Krisis Peradaban dan Krisis Pendidikan
- Kembali Kepada Fitrah: Konsep dan Klasifikasi Fitrah, Esensi Fitrah dalam Pendidikan
- Pendidikan berbasis Fitrah: Implementasi Framework Pendidikan berbasis fitrah untuk usia 0 - 7, usia 7 - 10, usia 10 - 14 dan usia AqilBaligh
- Perancangan BukuOrtu: Portfolio Anak dan Personalized Curriculum untuk setiap anak.
Sesi kedua ditutup dengan sharing dari sejumlah praktisi Home Education |
***
Baru nemu isi blognya mba. Makasih ya infonya
BalasHapusIni yg saya cari2, terimakasih banyak mbak :)
BalasHapusterimakasih mba
BalasHapusMba lengkap bgt isinya ..aku share lagi ya 👧
BalasHapusBukunya bisa saya dapatkan dimana bak?
BalasHapus